Saturday, February 20, 2010

Sebuah Kalung

“Hari ini aku ingin pergi ke luar desa. Kau mau menemaniku?” Gadis Es menyembulkan kepalanya dari atas rumah pohon milik ia dan teman-temannya yang terletak di sebuah pohon besar di tengah Hutan Pojo-Pojo.
“Mau kemana?” Keping Salju harus mendongak demi melihatnya, Mata mataharinya terlihat berbinar. Hangat.
“Tak tahu. Aku bosan berada di desa terus. Kita jalan saja mengikuti kaki melangkah.”
“Begitu? Tunggu sebentar, Tuan Putri.”
Tak lama Keping Salju kembali dengan menunggang seekor kuda. “Perkenalkan, ini Sefita,” katanya sambil mengelus surai kuda itu lalu melompat turun. “Ayo!” Keping Salju mengulurkan tangan pada Gadis Es.
“Berangkat!!” Seru Gadis Es setelah berhasil naik ke atas punggung Sefita.
Mereka berkuda menuju kota. Tepat sebelum mereka memasuki kota, Keping Salju menghentikan kudanya. “Tunggu sebentar.”
“Sebelum menjemputmu, aku sempat membuat ini,…” katanya seraya mengeluarkan sebuah kalung. Bandulnya terbuat dari rotan yang telah dibentuk sehingga menyerupai matahari, talinya sendiri hanya dari seutas tali putih yang diikatkan ke bandul rotan tersebut.
“…kupikir akan cocok untukmu. Sini.” Keping Salju memakaikannya di leher Gadis Es.
Gadis Es terisak pelan.
Keping Salju menyadarinya, “ya ampun, kau tak suka ya? Maaf ya, aku belum bisa memberimu yang sungguhan. Pangeranmu ini miskin sekali memang.”
Gadis Es menggeleng keras, “Kau tahu, Keping Salju? Apapun itu, seberapa pun murahnya itu, asal itu pemberianmu akan sangat berarti bagiku. Aku senang sekali. Terima kasih.”
Keping Salju menatap Pelanginya lama. “Terima kasih, Pelangi.”
“Err…tapi kenapa bentuknya matahari?”
“Kan kau yang menyebutku Matahari. Aku ingin kau selalu mengingatku. Membawaku kemana-mana. Anggap saja kalung itu aku, kalau aku sedang tak ada di dekatmu..”
Keping Salju melingkarkan tangan kanannya di leher Gadis Es, “…dan mulai sekarang kau harus memanggilku Matahari. Kau mengerti, Pelangi?”

Bersama Pangeran Matahari

Gadis Es tengah berada di padang rumput di dekat rumahnya. Bersama Keping Salju. Padang rumput itu tak begitu luas dan merupakan pintu masuk menuju Hutan Pojo-Pojo. Berupa bukit kecil sehingga dapat terlihat pemandangan seluruh desa jika berdiri di sana. Padang itu menghadap ke arah rumah-rumah penduduk desa sedangkan bagian kiri, kanan dan belakangnya dikelilingi oleh pohon-pohon. Hanya saja pohon-pohon tersebut terletak agak ke bawah dari padang tersebut. Di tengah padang terdapat pohon besar. Dan di bawahnyalah kini Keping Salju duduk menyaksikan Gadis Es yang sedang menari-nari dengan berputar di atas rumput dengan kaki telanjangnya.
“Keping Salju,” panggil Gadis Es masih tetap menari, kali ini menirukan seorang ballerina.
“Ya, Putri.”
“Aku bukan Putri. Kenapa kau memanggilku begitu?” Gadis Es berhenti menari.
“Kau tidak cocok disebut Gadis Es.”
“…..”
“Kau lebih cocok dipanggil Putri Musim Semi.” Keping Salju terdiam sejenak. “Aaahh..aku tahu. Putri Pelangi. Karena pelangi selalu muncul setelah hujan yang bertemu dengan cahaya matahari. Sama seperti kau. Sekarang kau tidak boleh sedih lagi. Mengerti maksudku?”
“Begitukah? Hmm..mungkin kau bisa memanggilku begitu. Putri Pelangi. Kedengarannya bagus.” Gadis Es mengangguk-angguk.
“Ada apa memanggilku?” Keping Salju menoleh lembut.
“Ah tidak. Aku hanya ingin bertanya, mmm…bagaimana kabar kekasihmu?”
“Dia…baik-baik saja.” Ujar Keping Salju, lebih mirip desahan sebenarnya. Ia kini berbaring menatap langit seolah tengah menikmati siraman matahari siang itu. Gadis Es mengambil duduk di sebelah kanannya. “Kapan..aku boleh tahu siapa kekasihmu?”
“Nanti kau pun akan tahu sendiri.”
“Kekasihmu pasti cantik. Kau kan, tampan. Dan ia juga pasti anggun seperti putri raja. Karena memiliki kekasih seorang Pangeran.”
“Ahahaha…sudah kubilang aku bukan pangeran!”
“Kau memanggilku Putri,” protes Gadis Es.
Keping Salju bangkit. Kini ia setengah duduk. Tangan kanannya menahan bobot tubuhnya dan tangan kirinya kini menyentuh lembut pipi kanan Gadis Es. “Bagiku, kau seperti putri. Kau Putri Pelangiku. Dan aku Pangeran Mataharimu. Mengerti?” Keping Salju menarik tangannya dari wajah Gadis Es dan kembali berbaring.
“Kau tak boleh lagi percaya pada Ksatria Air. Aku tak mau kau terus-menerus menjadi Gadis Es. Aku ingin kau bisa kembali menangis karena itu lebih baik.”
“Ng…” Gadis Es bingung harus berkata apa. “..tentang Nona Labu, sahabatmu itu, ia meninggalkanmu karena takut menganggu hubunganmu dengan kekasihmu?” Gadis Es sengaja mengalihkan pembicaraan.
“Ya.”
“Aneh. Kalau aku punya kekasih…”
“Bisa kita melupakan yang satu itu?” Potong Keping Salju setengah membentak.
“Maaf.”
Keping Salju menatap Gadis Es. “Tak apa. Maaf telah membentakmu. Sini, berbaringlah!” Katanya sambil menepuk-nepuk rumput sebelah kanannya.
Gadis Es menurut. Kini mereka berdua berbaring di atas rumput di bawah naungan pohon yang rindang, namun mereka masih dapat memandang awan yang cerah siang itu. “Aku sering seperti ini. Melihat awan. Rasanya nyaman. Aku bisa melihat apapun di awan. Sesuai imajinasiku.”
“Oh ya? Apa saja yang kau lihat?”
“Banyak. Terkadang aku melihat kedua orangtuaku, teman-temanku. Aku juga melihat biola.”
“Biola?”
“Ya. Impianku ingin menjadi pemain biola yang terkenal di seluruh dunia. Kau mau coba, Keping Salju? Mudah, kok.”
“Boleh.”
“Nah, sekarang kau tinggal melihat ke awan, dan sedikit menggunakan imajinasi, taraaa…kau bisa lihat sesuatu di sana!”
“Oke.” Keping Salju memandang awan. Lama sekali. Gadis Es menunggu. “Lama sekali, sih. Kau lihat apa?”
Aku melihat kau, Pelangi. Keping Salju menatap Gadis Es.. “Aku melihat piano.” Keping Salju berbohong dan kembali memandang awan. “Dari dulu aku ingin bisa memainkan piano. Mengadakan konser tunggal, ditonton banyak orang di seluruh dunia, mendengar mereka tepuk tangan setelah permainanku selesai. Pasti menyenangkan.” Keping Salju menoleh lagi pada Gadis Es, kali ini ia tidak berbohong.
Tapi berbeda bagi Gadis Es. Nona Lobak seorang penyanyi yang sudah terkenal di desa mereka. Keping Salju pasti ingin bermain piano untuk mengiringi Nona Lobak. Begitu pikirnya. Angin sepoi-sepoi membelai wajah mereka. “Aku ngantuk.” Gadis Es setengah menguap.
“Tidurlah.” Keping Salju menarik Gadis Es ke dadanya. Dan siang itu, Gadis Es tertidur dalam pelukan Keping Salju.

Wednesday, February 3, 2010

Bingung !!!

Dia Keping Salju.
Dia Pangeran Matahari.
Dia hangat.
Dia kokoh.
Dia mencairkan air mataku yang telah membeku
Aku bisa menjadi diriku sendiri di depannya.
Aku bisa meletakkan hatiku padanya.
Aku akan merasa aman dan nyaman bersamanya.
Aku bisa mempertahankan senyumku untukknya.
Aku bisa mengeluarkan air mata mataku karenanya.
Aku bisa merasakan cahaya bersamanya.
Aku bisa mengingat untuk tetap bermimpi tentangnya.
Aku bisa merasakan ledakan yang disebabkan kebahagiaan karena disayangi seseorang.
Aku bisa merasakan oksitosin meningkat tajam di otakku.
Aku bisa merasakan aliran darah yang deras karena malu ketika bersamanya.
Tapi...dia milik orang lain.
Apa arti diriku baginya ??