Thursday, June 17, 2010

LUKISAN MATAHARI

Ditemani Bibi Awan, Gadis Es kini tengah asyik dengan kanvas dan kuasnya di padang tempat ia dan Keping Salju biasa bertemu.
“Kau melukis apa, Sayang?” Tanya Bibi Awan.
“Hanya melukis pemandangan. Kau bisa bergeser sedikit, Bibi? Agar aku tak terlalu silau. Hari ini panas sekali.”
“Tentu, Sayang.” Dan tak lama Bibi Awan tepat berada di atasnya.
“Terima kasih, Bi.”
“Omong-omong, aku suka nama barumu. Kurasa cocok. Pe-la-ngi. Mataharikah?”
Gadis Es hanya menjawab dengan senyum kecil.
“Kau bahagia dengannya? Ah..tak perlu kutanyakan itu. Terlihat jelas di wajahmu.”

“Benarkah?” Sedikit rona merah muncul di kedua pipinya yang bulat.
“Entahlah, Bibi. Ia bilang ia menyayangiku. Tapi jika mengingat fakta bahwa…ah…kebahagiaan itu rasanya langsung lenyap begitu saja,” tangan kanannya yang menggenggam kuas terkulai ke samping.
“Ia memang menyayangimu, Sayang. Sangat menyayangimu. Dia hanya butuh waktu,” kata Bibi Awan bijak.
Gadis Es kini hanya menatap kosong kanvas di depannya yang baru terisi dominasi warna hijau, biru dan pink padang tersebut.
Ingatannya menari pada saat ia dan Keping Salju pergi ke menara Ascent─menara tertinggi di kota Lovi─beberapa waktu lalu.

“Aku belum pernah kesini. Kata orang-orang pemandangannya sangat bagus. Kau pernah kesini, Matahari?”

Tak ada jawaban. “Matahari?” Ulang Gadis Es sambil menengok Keping Salju. Yang ditatap malah menatap kosong ke luar menara. “Bau asin,” katanya. Gadis Es tak mengerti dan hanya menunggu perkataan berikutnya keluar dari bibir pria itu.

“Laut. Pelangi, lihatlah!” Seru Keping Salju menunjuk dengan dagunya. Dan benar saja. Ketika Gadis Es menoleh, laut biru dengan pasir putih pantainya terhampar megah di depan mereka.
Dari tempat mereka berdiri sekarang memang dapat melihat pantai yang terletak di ujung utara pulau tempat mereka tinggal. Bau asin tercium samar di cuping hidung mereka.

“Aku suka laut,” kata Gadis Es. “Kesannya bebas.” Gadis Es mengendus-endus udara sambil memejamkan matanya. Keping Salju hanya menatap Gadis Es. Ia lalu meraih tangan kanan Gadis Es dengan tangan kirinya dan menariknya mendekat ke tubuhnya.

“Tetaplah bersamaku, Pelangi,” bisiknya pelan. Yang digenggam tangannya hanya terbengong. Hatinya kebat-kebit. Dari pipinya keluar rona merah muda akibat darah yang mengalir deras ke kepalanya. Saat itu, Gadis Es tahu. Ia jatuh cinta.


“Bagaimana dengan kekasihnya?” Bibi Awan merontokkan lamunannya. Gadis Es menggeleng lemah. “Nona Lobak…”

“Namanya Lady Vori, Sayang. Kenapa kau menyebutnya begitu?” Potong Bibi Awan cepat.

“Habis, hanya lobak yang terlintas di benakku saat melihatnya. Maksudku, Lady Vori sangat cantik. Dia penyanyi terkenal dan sering mondar-mandir ke istana. Aku hanya pelukis biasa. Sesekali mengamen dengan biolaku. Aku tak ada apa-apanya. Mungkin mereka memang cocok satu sama lain.”

“Hai." Yang dibicarakan langsung muncul. Keping Salju datang dengan penampilan yang lebih rapi dari biasanya. Hanya saja yang terlihat sekarang hanya sisa-sisa dari kerapian tersebut. Kancing jas hitamnya dibuka dan lengannya digulung sebatas siku, dasinya direnggangkan sampai dada, tiga kancing atas kemejanya sudah tidak terkait satu sama lain, memamerkan dadanya yang bidang. Rambutnya sengaja ia buat berantakan. Seperti habis menghadiri sebuah pesta atau setidaknya sebuah acara resmi. “Sedang apa kau?”

“Melukis,” jawab Gadis Es pendek sambil memerhatikan penampilan Keping Salju. Bingung. “Darimana?”

“Hah? Oh…ada acara sebentar tadi. Sebenarnya belum selesai tapi aku bosan. Kedatanganku menganggumu?” Keping Salju melirik ke arah kanvas.

“Tidak juga. Tunggulah di sana,” Gadis Es menunjuk tempat persis sebelah barat laut dari kanvasnya. “Mungkin sebentar lagi.”
Keping Salju beranjak pelan. Sekarang ia membelakangi Gadis Es.
Keping Salju berada dalam pandangannya. Tangan kanannya pun mulai bergerak cepat sambil sesekali melihat ke arah Pangeran Mataharinya. Sedangkan tangan kirinya menggenggam erat palet yang telah bersimbah berbagai warna cat.
Beruntung, Keping Salju bergeming dan tak menyadari yang dilakukan Gadis Es. Lama keduanya meneriakkan kesunyian.

“Emm…aku bisa saja mengetahuinya dari orang lain. Tapi aku ingin mendengarnya dari mulutmu sendiri.” Gadis Es akhirnya memecah kesunyian yang sedari tadi membungkus ruang di antara mereka sambil terus melukis. Keping Salju mau tak mau menoleh. “Maksudmu?”

“Maksudku…aku ingin tahu siapa kekasihmu,” matanya tak beranjak dari kanvasnya.

“Pentingkah?”

Gadis Es hanya menatapnya tajam.

“Baiklah…” Keping Salju mengusap wajahnya sendiri yang sedikit berpeluh. “Kekasihku…,” ia mendesah panjang. Seolah kata-kata yang akan ia keluarkan berikutnya memiliki bobot beribu-ribu ton. “…Lady Vori. Kau kenal, kan? Kurasa ia juga mengenalmu. Dia hapal semua seniman desa ini.” Ia mengatakannya sambil memalingkan muka.

Gadis Es terpaku sesaat. Ada rasa aneh yang meyusupi sudut hatinya. Ia sudah tahu dari dulu perihal ini. Tapi kenapa baru ia rasakan kesedihan yang sedemikian menyengat sekarang? Apa mungkin karena ia mendengarnya langsung keluar dari bibir Keping Salju sendiri? Matanya mulai panas. Buru-buru ia menghapus dua titik bening yang hampir meluap itu dengan lengannya sebelum terlihat Keping Salju.

Keping Salju masih menatap lurus ke arah desa. Tangannya dimasukkan ke dalam saku.
Dengan menambahkan sedikit sapuan kuas lagi, Gadis Es menyelesaikan pekerjaannya.
“Nah, selesai! Mau lihat?”

Perlahan Gadis Es memutar kanvasnya. Keping Salju tertegun saat melihat hasil lukisan itu. “Kau...melukisku, Pelangi?”

Dalam lukisan itu, terlihat jelas Keping Salju yang sedang melamun menatap ke arah desa.
Tangannya tenggelam di saku celananya.
Sedikit pemandangan padang yang didominasi warna hijau rumput dan merah muda bunga serta pemandangan yang ditatap Keping Salju─deretan rumah yang berjejer rapi di bawah mereka, lengkap dengan langit biru cerah dengan gumpalan-gumpalan colomunimbus tanpa matahari.
Gadis Es menambahkannya dengan efek angin yang memainkan rambut dan dasi Keping Salju.
Keping Salju sendiri terletak di sisi kiri lukisan.
Lukisan itu begitu hidup.
Walaupun terlihat melamun tetapi mata Keping Salju pada lukisan itu dibuat Gadis Es menjadi begitu berbicara.
Yang tak Gadis Es ketahui adalah bahwa lukisan tersebut persis menggambarkan apa yang Keping Salju rasakan saat itu.
Matanya memang sedang berbicara. Bahkan berteriak. Keping Salju takjub. Putri Pelanginya mampu menangkap siratan matanya itu.
Gadis Es menyebut lukisannya,Nus Avela Vi─Mata Matahari.

“Ya.” Gadis Es tersenyum manis sekali. Senyum yang telah lama tak tercetak pada wajah mungilnya.