Monday, December 10, 2012

Me vs Lymbic System

Tetes air mataku tak tertahan lagi
Menanti kepastian tentang kita
Kau masih juga bersamanya
Masih mencintainya


Suara Reza Artamevia mengalun lembut merambat keluar dari kedua speaker di samping komputerku.

Oh tidak! Aku tahu akan menjadi apa ini.

Gelombang suara itu terus merambat masuk ke dalam gendang telingaku. Terus menggali dalam-dalam dan akhirnya menyentuh sel-sel otak.

Sayangnya, bukan kepada neocortex, sang rasionalis, yang akan menganggapnya angin lalu. Tapi malah menyapa lymbic system. Si kecil cabe rawit yang menguasai emosi. Aku benci ini. Tabiatnya buruk sekali khusus untuk persoalan ini.

Nah benar kataku.

Si kecil nakal itu mulai mengajak sebataliyon dendrite otak melanglang buana mengunjungi memori yang kusimpan jauh di dalam. Memoriku pada awal 2010. Memoriku akan seseorang. Seseorang yang membuatku sesak walau system pernapasanku baik-baik saja.

Don’t say you love me, unless forever
Don’t tell me you need me, if you’re not gonna stay
Don’t give me this feeling, I’ll only believe it
Make it real, or take it all away


Sial! Setan kecil yang hanya menempati dua puluh persen otakku itu sudah berhasil membujuk semesta. Entah bagaimana, winamp-ku yang memang sengaja kusetel shuffle sudah sampai di bagian chorus Don’t Say You Love Me-nya The Corrs. Tak main-main dia rupanya.

Alih-alih meninabobokan geliat sistem limbic, suara Andrea Corr justru membuat dominasinya menggurita. Neocortex mulai kesempitan. Hampir lenyap kewarasanku.

Ia lalu terjun menuju hati. Berayun-ayun liar melewati pembuluh darah. Dadaku mulai sesak.

Tahukah engkau, wahai langit
Aku ingin bertemu membelai wajahnya
Kan kupasang hiasan angkasa yang terindah
Hanya untuk dirinya


Konspirasinya dengan semesta mulai membabi buta. Tahu-tahu aku mendengar refrain Lagu Rindu-nya Kerispatih. Brengsek benar organ yang satu ini!

Sebenarnya aku tak mau mengingatnya lagi. Namun, si kecil itu memang bengal bukan buatan. Keras kepala seperti batu koral.

Puas sudah mengingatkan bahwa aku rindu setengah hidup pada pemilik sebuah ruang di hatiku, ia kemudian bermain-main dengan kelenjar air mata. Beberapa kubik isinya mulai berebut keluar dari pelupuk mataku. Mataku mulai panas dan penglihatanku kabur.

Ia benar-benar tak bisa dikendalikan!

Aku pasrah. Kubiarkan ia menang kali ini. Kelenjar air mata juga menyerah. Tak kuat karena urat-urat syarafnya terus diremas paksa agar mengeluarkan isinya. Air mataku luruh sudah.

Di atas sana, neocortex sudah terkapar sedari tadi. Sama seperti diriku yang juga sudah terkapar tolol di lantai. Meraung-raung dalam hati menyebut nama yang dirindukan. Berteriak tanpa suara. Tanganku sibuk menggenggam air mata yang becek di lantai.

Tuhan, haruskah sesesak ini mencintai seseorang?

Kau, Aku, dan Air Langit

Der Brille Mann und ich...
Brille Mann, mein mit der Brille Mann...


Kau, aku, dan air langit
Mencumbui malam dengan doa
Tanpa dunia yang mengenal kita

Terkadang, mencoba mengupas kulit kehidupan dengan aksara
Berharap enigma malu, karena kita menyibak tabirnya

Ah...mein mit der Brille Mann

Betapa aku ini perempuan dungu
Mencoba mengindraimu dengan netra
Padahal kau itu hanya utopia
Fatamorgana bagi kafilah
Indah. Namun eksistensinya nihil
Gamang. Seperti cahaya lilin ditepuk-tepuk angin

Brille Mann...Brille Mann

Kalau boleh kuanggap ribuan laksa tetes hujan adalah implementasi perasaanku
Maka keluarlah, menarilah di bawah guyurannya
Agar kau kuyup akan rinduku
Dan aku dapat memelukmu melaluinya, hujan kita
Hujan yang selalu ingin kunikmati bersamamu

Tuesday, December 4, 2012

Kulminasi rindu

Untukmu Muhammad, Ya Rasulallah, manusia kecintaan Allah...

Berawal dari sebuah buku yang tengah kubaca tadi malam. Baru pada lembar pengantar, air mataku sudah menderas. Bukan, bukan karena buku itu musabab tangisku.

Hanya saja, buku itu berhasil mengingatkanku pada sebuah rindu. Rindu yang terlanjur membesar. Mengendap sekian tahun dan belum pernah tunai.

Sungguh aneh, merindukan seseorang yang bertemu saja belum. Yang menatap wajah purnamanya saja belum. Mencium wangi tubuhnya saja tak bisa.

Seseorang yang terpaut ribuan kilometer dan berabad jarak. Seseorang yang dengan mendengar namanya saja sudah membuatku gemetar. Gemetar oleh rindu yang begitu maha.

Malam tadi, rindu itu meruap lagi.

Iya. Aku rindu pada Muhammad bin Abdullah. Manusia terbaik yang pernah berjalan di muka bumi.

Merindu mahluk yang berabad jarak dan ribuan kilometer. Jelas tak masuk logika mana pun. Tapi memang iya kan, cinta memang menganulir logika.

Rindu ini membuatku sesak, Ya Rabb.

Sungguh aku iri pada ahlul bait, pada para sahabat, para sayyidina yang hidup pada zamanmu, Ya Rasulallah. Sungguh aku iri pada mereka yang dapat bertatap wajah denganmu, melihat cahaya surgawi di matamu, menyaksikan tanda kenabian di bahumu.

Ya Habiballah, betapa aku merindukan kau mengetuk-ngetuk pintu rumahku, mengucapkan salam padaku kemudian mengajak shalat berjamaah sebagaimana yang kau lakukan pada Fatimah r.a. Betapa aku benar-benar merindukan dapat melihat langsung senyum dari bibir yang selalu mengucap dzikir itu. Betapa aku merindukan dapat dijenguk olehmu ketika aku jatuh sakit layaknya kau menjenguk Abu Thalhah. Betapa aku ingin syahid dengan melihat wajahmu, seperti Mukhayyiri.

Mungkin malam tadi adalah kulminasi rinduku selama ini. Tangis ini semata hanya akumulasi kerinduan menahun yang tak kunjung tunai. Rindu yang sudah ada sejak aku mendengar namamu. Rindu yang sudah sedemikian massif, hingga tak bersisa ruang lagi di hati untuk menampung rindu ini. Rindu yang terlanjur meluap.

Aku menangis lagi.

Entah tangisku ini memang karena aku sungguhan rindu padamu atau merasa diri hina, tak pantas menyebut bahwa merindukanmu, Ya Mustafa?

Sungguh sebenarnya aku malu mengatakan aku rindu, jika menghadirkannya dalam kehidupanku saja tak pernah. Jika mengamalkan As-Sunnah saja masih berat. Mungkin rindu ini tak ada satu kulah pun jika dibandingkan kecintaan Fatimah, Ali bin Abi Thalib, atau Thalhah atau Mukhayyiri atau Bilal bin Rabah. Tapi biarlah, biarlah air mata yang bahkan belum mengering ini menjadi saksi di mahkamahNya nanti. Berapa besar aku mencintaimu, berapa besar aku merindukanmu, biarlah air mata ini yang akan menjadi hisabnya.

Duhai lelaki agung pemilik rindu...
Betapa aku malu. Begitu banyak puisi lahir dari tanganku namun tak satu pun menyebut tentangmu. Biarlah tulisan ini menjadi kado kecilku untukmu, duhai Nabi Allah. Sebuah tulisan yang hadir hanya lantaran tak tahu lagi mesti kemana rindu ini kualamatkan.

Maka melalui tulisan ini, aku hanya ingin membagi rinduku. Rindu yang tak sanggup kutampung sendiri. Pada kalian, umat yang selalu dicintainya dengan segala kelembutan hati.

Ya Allahurabb, duhai Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku ingin bertemu dengan rasulMu, kekasihMu. Walau sekadar mimpi. Satu mimpi saja. Sampai akhirnya aku dapat benar-benar bertemu dengannya di Padang Mahsyar. Sampai saat itu, duhai Dzat Yang Memberikan Rindu. Aku mohon...

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad.