Wednesday, October 26, 2011

Ngemsi lagiiiihhh..

Eniwe, gw mau cerita kalo sabtu (15/10) itu gw ngemsi lagi di smada. Bukan lagi sama ka wili tapi sama pasangan abadi gw, si hamzah blukutuk ituh. Well..seneng2 aja sih. Selaen gw emang kangen sama mahluk itu, di sisi lain, ngemsi di smada seolah gw masuk ke dunia ingo versi gw sendiri.

Gw udah jenuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuhhhhhhhhhhh banget sama kehidupan kampus. Kampus, kosan, rumah. Itu-itu doang. Gw boseeeennn. Seolah dunia gw Cuma di situ doang. Gw bukan tipe orang yang kuat di suatu tempat terpencil lama-lama. Yah, terpencil karna lingkungannya Cuma di situ-situ doang.

Well..well...eniwe pas di smada kemaren otak gw seolah ke-refresh dikit lah. Ajeb-ajeb di panggung pas lagi ada DJ. Aseek dah pokonya. Semoga nanti ada tawaran ngemsi lagi. Amin..amin...Ya Alloh.

Kenapa gw demen ngemsi ?? Pasalnya, klao lagi ngemsi itu gw bakal bisa ngobrol-ngobrol sama pengisi acaranya yang rata-rata punya pergaulan yang luas. Gw jadi bisa ngebangun link dari situ. Ngerasa dunia gw ga sempit. Ngerasa masi ada dunia lain di luar sana. Pendeknya, gw merasa gaul. Ajieeehhhhh.....

Pluuuuuusss...gueststar-nya yang kemaren Gugun Blues Shelter, drummernya kereennnnnn abiiiiisss. Bukan orangnya, tapi maen drum-nya kereeeeeeeeen buanggggetttt. Gw ama hamjah aja ampe Cuma bisa nganga2 doang ngeliatnya. Asli keren parah. Itu baru namanya drummer. Klo drummer additional-nya the virgin tu mah overacting. Tapi yang iniiiihhhhh asli keren. Namanya bowie. Orangnya juga manis. Aaahhhh udah punya pacar blom yaaah. Sempet ngobrol bentar sih. Huaaaww huaaaww....

My Own Ingo

Kami menutup mata. Aku lelah sekali setelah arus tadi membuatku jungkir balik. Air membelai-belai telingaku. Faro benar, sinar matahari terasa sangat nyaman. Semua kekhawatiranku lenyap. Aku merentangkan tangan dan kakiku, menyambut kehangatan yang menenangkan, membiarkan air mengayun-ayunku dengan lembut. Aku pasti menemukan Dad. Tapi aku sekarang berada jauh di Ingo…jauh sekali, dalam taman penuh rumput laut dan anemone. Ingo-Helen Dunnmore p.186

Itu Sapphire. Ia menemukan Ingo. Ingo-nya adalah laut. Dan gw…gw juga punya Ingo. Ingo gw adalah mereka. Mereka yang berasal dari masa lalu gw.

Dua pekan lalu, gw ngemsi di SMA gw dulu. Ga ada yang spesial selain gw bertemu lagi dengan pasangan emas gw yang sudah berabad-abad tak bertemu. Sampai gw menyadari, it was just like Ingo.

Gw sudah mulai jenuh dengan rutinitas yang tengah gw jalani sekarang. Kampus, kosan, rumah. Itu-itu saja seolah dunia gw memang hanya di situ. Dan bertemu dengannya kemarin, bercanda dengan mereka otak gw seolah direfresh berjuta kali. I feel I was in different world!

Itu…itu yang gw butuhkan sekarang. Dunia yang tak terjamah oleh mereka yang berada di dunia gw yang sekarang. See…orang-orang yang berbeda di setiap dunia yang gw datangi. Sehingga gw bisa bebas menentukan mau menjadi seperti apa gw di sana. Beda dunia, beda kepribadian. Ooowww…it sounds alive!

Sebisa mungkin aku akan menjauhkan mereka yang berada di duniaku yang sekarang agar tidak masuk ke dalam Ingo, begitu juga sebaliknya. Aku akan selalu menjaganya tetap dalam lingkaran-lingkaran terpisah. Aku tak akan membiarkan duniaku seperti diagram venn. Karena jika itu terjadi, dunia-duniaku itu lambat laun akan melebur menjadi satu. Tak ada lagi tempat pelarian, tak ada lagi tempat persembunyian.

Dan tak ada lagi Ingo.


Ini Ingo-nya Sapphire...




Dan ini Ingo-ku...







Monday, October 24, 2011

Ritual

Ia kini berdiri di pinggir jurang yang menatap ke samudra lepas. Di bawahnya sang laut menampar-nampar karang dengan ganas, siap menjemput ajal siapa saja yang berani datang padanya. Satu langkah lagi, satu langkah lagi yang bagi orang biasa bisa lunas nyawanya jika dilakukan. Namun ia tetap bergeming di situ. Bibirnya tertarik ke belakang membentuk lengkungan sempurna. Manis sekaligus misterius.

Sedang aku hanya bisa melihatnya. Tak berbuat apa-apa. Bukan tak mau, tapi tak bisa. Aku masih menatapnya. Kini ia terlihat gelisah. Ujung kaki kanannya diadu ke tanah berulang-ulang kali. Entah, mungkin ia mulai ragu akan keputusannya. Sesekali ia menyingkap rambutnya yang dipermainkan oleh angin laut. Ia usap lengannya demi mendapat kehangatan dari gaya gesek yang ia ciptakan di atas kulitnya. Aku sendiri sudah menggigil dari tadi. Namun aku tak ingin melewatkan ini dan pulang ke rumah, lalu beraduan dengan selimut hangat, lantas terlelap. Tidak, aku ingin menjadi saksi ritual ini. Ritual yang tak menentu kapan terjadinya.

Ia mundur tiga depa. Telapak tangannya mengepal kuat-kuat. Oohh…tidak jadikah? Ia mundur lagi beberapa depa, dekat sekali denganku, sampai-sampai aku bisa mendengar napasnya yang teratur. Lalu tanpa peringatan ia berlari lagi ke depan. Begitu kencangnya sampai aku baru menyadari ketika ia sudah tak lagi di depanku. Ia menuju jurang. Dan pemandangan berikutnya sungguh menakjubkan.

Ketika kakinya tak lagi menjejak tanah, ia lantas merentangkan kedua tangannya seperti sayap. Lalu dengan satu gerakan tangkas lagi anggun, ia menukik. Tinggi karang yang menjulang dimanfaatkannya untuk sedikit bermanuver sebelum ia benar-benar menyentuh laut. Berputar-putar layaknya ballerina di ruang kaca dan tertawa-tawa persis seperti Peter Pan saat menggoda Kapten Hook yang tak bisa terbang. Ia terjun seterjun-terjunnya. Kemudian….BLAAASSS !!! Ia akhirnya menghempas ombak.

“Kau gila!” Seseorang memergokku tengah menonton adegan anggun nan mengerikan tadi. Tangannya menyergap lenganku. “Apa yang kau lakukan? Seharusnya kau mencegahnya. Bukannya hanya menonton saja. Ia akan mati!”

Ah..Kawan, kau tidak mengerti. Aku tersenyum selembut mungkin menatapnya sembari menanggalkan tangannya yang masih mengunci lenganku. “Biarkan saja,” kataku tenang. “Nanti juga ia akan kembali.”

Aku melongok ke jurang. Ia tak muncul lagi. Aku tahu ia sedang asyik menyelam di bawah sana. Memunguti serpih demi serpih pengalaman yang akan diberikan padaku nantinya. Saat kembali lagi, aku tahu ia akan lebih anggun dari sebelumnya.

Aku melangkah menjauhi jurang sampai orang itu tak tahan untuk tidak bertanya. “Siapa…dia sebenarnya?”

Aku berbalik. “Jenuh. Namanya…Jenuh.”

Saturday, October 22, 2011

Puisi Kecil untuk Paman

Kau pernah menonton Milk yang dibintangi Sean Penn dan James Franco? Atau Shelter mungkin? Oh terserah, yang jelas mimpi buruk itu berawal dari kedua film tadi.

Namanya Bio. Ia adik kelasku di masa putih abu-abu. Aku memanggilnya Paman karena kakaknya yang juga kakak kelasku, kupanggil Ayah. Bagiku Bio adalah segalanya. Ia paman, adik, sekligus sahabat yang dengan sifat introvertnya pasrah saja mendengar segala ceritaku. Kedudukannya bahkan lebih tinggi dari seorang kekasih.

Dan film tadi, kudapat darinya. Terjijik-jijik aku menonton adegan sesama pria yang sedang melakukan hubungan intim. Tapi yang ia bilang justru, "romantis ya, Vi?"

"Apa maksudmu?"

"Menurutmu?"

Aku menggeleng. Tak berani mengambil sebuah kesimpulan apa pun. "It's obviuos, Livia. Tidakkah kau menyadarinya selama ini? I'm the one of them."

Seketika itu juga, duniaku terhenti.Ya Tuhan, Beruang Kecilku, Pamanku yang baik hati, adikku yang manis. Ia penyuka sesama jenis.
Beberapa kubik air mulai berebut keluar dari pelupuk mataku.

"Maaf Livia, kalau semua ini membuatmu kecewa. Seharusnya Bio tidak memberitahu yang sebenarnya kan, agar hubungan kita baik-baik saja. Tapi Bio tak kuat lagi memendam ini semua. Siapa sih, yang mau kehidupan seperti ini? Kalau boleh memilih, Bio juga ingin jatuh cinta pada seorang perempuan. Tapi Tuhan berkehendak lain. Ini kenyataannya, Livi. Bio berbeda."

Tiga tahun. Ya, tiga tahun lebih ia menyembunyikan itu semua dariku. Tak bisa kubayangkan ia menderita sendirian dengan segala penolakan yang tak hanya dari norma-norma yang ada tapi juga dari dirinya sendiri. Gagal, itu yang kurasakan sebagai orang terdekatnya.

Aku memang sempat curiga ketika ia mulai dekat dengan seorang temanku yang juga gay. Namun waktu itu, kututup mata, telinga dan seluruh hatiku karena tak mau ketakutanku bahwa Bio memang tidak hetero berubah menjadi kenyataan.

Yang aku tak mengerti. Kalau memang ini takdir, mengapa Tuhan menciptakan sesuatu yang jelas-jelas Ia laknat? Dan mengapa Bio? Mengapa Bioku? Demi Tuhan...ia hanya seorang anak kecil! Ini semua tak hanya menguji keimanannya, tapi juga imanku.

"Kau...baik-baik saja, Paman?"

Ia tersenyum. "Kau seolah-olah bertanya untuk dirimu sendiri. Aku baik-baik saja, Livia."

"Apa yang bisa kulakukan untukmu?"

Ia usap lembut kepalaku. "Kehadiranmu. Itu saja sudah lebih dari cukup, Livia. Kau segalanya bagiku."

Tak hanya dia, perasaanku sendiri juga merajam. Aku memang masih memandangnya dari koridor agama yang jelas-jelas sudah ketuk palu bahwa ini suatu kesalahan. Suatu penyimpangan. Tapi aku bisa apa? Yang bisa kulakukan hanya terus berada di sampingnya sembari tak hentinya berdoa agar ia menjadi seperti yang seharusnya. Agar jiwanya kembali patuh pada hukum alam.

"Bersiaplah, dunia akan keras padamu."

"Einstein bilang 'I shall never believe that God plays dice with the world'. Jadi aku pasti baik-baik saja, Livia. Tak usah khawatir."


Kau Adik Manis...
Andai aku diizinkan mencintaimu
Aku ikhlas jika harus patah hati
Karena kau lebih memilih perempuan lain
Daripada harus menerima kenyaatan ini
Kau, Paman kecil yang baik hati
Jika pun ada pria yang mencintaiku
Seperti aku mencintainya
Itu saja tak lantas membuatku bahagia
Lantaran aku masih mengingat
Bahwa kau masih meraba-raba kebenaran di luar sana
Kau, Beruang kecilku
Ingin sekali kukatakan padamu
Ini bukan takdir, sayang...ini cobaan
Pamanku…pamanku…
Kembalilah pada jiwamu

Punya Media Online Sendiri, Kenapa Enggak?

Di tengah era modern seperti ini banyak masyarakat haus akan informasi yang cepat, aktual, faktual, dan tentunya berimbang tanpa ada intervensi dari si pemilik modal. Karena saat ini, kebanyakan dari pemilik media yang ada di Indonesia mayoritas dimiliki oleh orang – orang yang sudah banyak makan asam garam di dunia jurnalistik dan terjun di dunia politik.

Namun, di Bekasi ada sekumpulan anak muda kreatif yang mampu membuat media online sendiri. Rilis pada 17 Februari 2011 lalu, waroengkopibekasi.com mengajak anak muda sebagai putra bangsa untuk ikut andil dalam melakukan perubahan.

Berikut petikan wawancara dengan wakil pemimpin redaksi warungkopibekasi.com, Hafiz.

Friday, October 21, 2011

Pepeng: Saya Mengontrol Sakit Saya

Tubuhnya mungkin hanya bisa berbaring di dipannya sekarang. Namun, senyumnya masih seperti dulu. Masih sama seperti senyumnya tatkala ia masih sering kulihat di layar kaca membawakan acara kuis Jari-Jari pada decade 90-an. Walau kini Multiple Sclerosis (MS) tengah menguntitnya. Ferrasta Soebardi. Mungkin kau tidak terlalu familier dengan nama itu. Tapi bagaimana kalau aku menyebutnya…Pepeng?

Rabu (20/10) sore aku menginjakkan kaki di kediamannya di kawasan Cinere, Depok. Dua ekor kucing Anggora melangkah anggun menyambutku dari dalam rumah yang didominasi furniture ukiran-ukiran kayu itu. Kuhiraukan. Karena fokusku sekarang hanyalah bertemu dengan sang empunya rumah yang saat itu tengah menjamu tamu. Aku terpaksa menunggu.

Sejam kemudian aku sudah berada di kamarnya. Udara sejuk dari air conditioner di ruangan itu langsung menyerbu dan berhasil membuat bulir-bulir peluhku hasil ngangkot selama empat jam berkurang. Aku langsung memulai wawancaraku.

“Saya selalu merasa diri saya adalah database,” tembaknya langsung ketika kutanyai mengenai buku yang tengah digarapnya. “Dan kelebihan dari database ialah memilah. Dan saya memilih cerita hidup saya untuk diangkat menjadi sebuah buku.”

Pria yang pada 23 September silam berulang tahun yang ke-56 ini tengah menyelesaikan disertasinya dengan konsentrasi Pain Communication. Baginya, sakit adalah sebuah sinyal. Setiap manusia berangkat dari fear dan sakit itulah yang menandakan keberadaan fear tersebut. “Tak seharusnya rasa sakit itu diredam. Sakit itu harus dikontrol. Dan saya mengontrol sakit saya,” tambahnya.
Semenjak divonis menderita penyakit langka yang menyerang daya tahan tubuhnya 2005 silam, ia mengaku tidak pernah meminum obat dokter. Ia lebih memilih meminum obat herbal.

Selama sakit itu pun, total sudah lima buku yang ia rampungkan. Salah satunya “Di Balik Jari-Jari” yang sudah terlebih dahulu dilempar ke pasaran serta empat buku lainnya yakni, Parenting, Smart Marriage, Kami Bicara tentang Kami, dan The Movement without Move yang siap diterbitkan.

Khusus yang terakhir, buku tersebut berbicara banyak mengenai social movement. Hal tersebut, baginya, merupakan cara lain selain revolusi yang tengah menjadi wacana dimana-mana. “Bukannya kontra revolusi. Tapi saya selalu berpikir ada cara lain. Jika lewat revolusi mesti berdarah-darah, mungkin dengan ini hanya lebam. Kalau memang mau berbeda, benar-benar tunjukkan perbedaan itu,” jelas pria kelahiran Sumenep ini.

Ia juga menuturkan kalau manusia tak perlu banyak statement. Yang paling penting adalah bertanya. “Orang cerdas itu yang bertanya, sedangkan yang menjawab adalah orang bijak.”

Satu poin penting merangkum kelima buku tersebut, Pepeng hanya ingin menyampaikan dua hal kepada pembacanya. “Butuh jujur, butuh cinta,” tandasnya cepat. Kedua hal itulah yang bisa membawa perdamaian.




Carrier is Passion

“Saya hanya bisa tertawa jika ada orang yang bilang kalau karir saya berhenti sampai di sini. Kenyataannya tidak. Karir itu passion. Dan passion itu harus selalu ada. Saya akan berhenti berkarir nanti, jika saya sudah mati,” ungkapnya padaku sambil masih terus memamerkan senyumnya. Sesekali ia membetulkan letak kacamata bundar yang bertengger di atas kepalanya.

Mataku ngelayap memindai kamar yang tak begitu luas namun nyaman itu. Jejeran buku yang agak berantakan memenuhi sebagian sisi kiri dari dipannya. Dan dinding sebelahnya yang ditempeli gambar-gambar coretan anak kecil. Tak ketinggalan pintu kamarnya yang sarat kertas berisi kutipan-kutipan dari para tamu yang pernah dijamunya.

“Pantang mati sebelum ajal,” katanya lagi. Menurutnya, terkadang ada orang-orang sudah mati duluan. Yang tidak punya harapan hidup lagi sampai-sampai berani mati. “Saya tidak akan berhenti berharap. Yang terpenting adalah research (mencari kembali-red). Artinya memberi nilai (value). Mencari kembali sesuatu itu dan kemudian diberi nilai tambah. Jadi tidak ada lagi yang baru. Yang ada hanya nilai tambah. ”

Ia mengibaratkannya dengan kacang. Bermilyar-milyar kacang di dunia yang bisa saja rasa dan kegunaannya sama saja. Tapi bagaimana hanya dengan kacang seseorang bisa menjadi jutawan? Aku tertegun. Lalu berbarengan aku dan dia mengucapkan, “nilai.”

Aku begitu antusias untuk menulis sebuah kutipan yang akan ditempel di pintu kamarnya. Kuambil secarik kertas dari sekian banyak tumpukan di meja sebelah kanan dipannya. Entah benar entah salah. Entah bijak atau tidak. Aku pun menulis,

‘Terkadang dunia lebih kejam daripada neraka. Setidaknya yang terjadi di neraka adalah KEADILAN.’