Monday, December 10, 2012

Me vs Lymbic System

Tetes air mataku tak tertahan lagi
Menanti kepastian tentang kita
Kau masih juga bersamanya
Masih mencintainya


Suara Reza Artamevia mengalun lembut merambat keluar dari kedua speaker di samping komputerku.

Oh tidak! Aku tahu akan menjadi apa ini.

Gelombang suara itu terus merambat masuk ke dalam gendang telingaku. Terus menggali dalam-dalam dan akhirnya menyentuh sel-sel otak.

Sayangnya, bukan kepada neocortex, sang rasionalis, yang akan menganggapnya angin lalu. Tapi malah menyapa lymbic system. Si kecil cabe rawit yang menguasai emosi. Aku benci ini. Tabiatnya buruk sekali khusus untuk persoalan ini.

Nah benar kataku.

Si kecil nakal itu mulai mengajak sebataliyon dendrite otak melanglang buana mengunjungi memori yang kusimpan jauh di dalam. Memoriku pada awal 2010. Memoriku akan seseorang. Seseorang yang membuatku sesak walau system pernapasanku baik-baik saja.

Don’t say you love me, unless forever
Don’t tell me you need me, if you’re not gonna stay
Don’t give me this feeling, I’ll only believe it
Make it real, or take it all away


Sial! Setan kecil yang hanya menempati dua puluh persen otakku itu sudah berhasil membujuk semesta. Entah bagaimana, winamp-ku yang memang sengaja kusetel shuffle sudah sampai di bagian chorus Don’t Say You Love Me-nya The Corrs. Tak main-main dia rupanya.

Alih-alih meninabobokan geliat sistem limbic, suara Andrea Corr justru membuat dominasinya menggurita. Neocortex mulai kesempitan. Hampir lenyap kewarasanku.

Ia lalu terjun menuju hati. Berayun-ayun liar melewati pembuluh darah. Dadaku mulai sesak.

Tahukah engkau, wahai langit
Aku ingin bertemu membelai wajahnya
Kan kupasang hiasan angkasa yang terindah
Hanya untuk dirinya


Konspirasinya dengan semesta mulai membabi buta. Tahu-tahu aku mendengar refrain Lagu Rindu-nya Kerispatih. Brengsek benar organ yang satu ini!

Sebenarnya aku tak mau mengingatnya lagi. Namun, si kecil itu memang bengal bukan buatan. Keras kepala seperti batu koral.

Puas sudah mengingatkan bahwa aku rindu setengah hidup pada pemilik sebuah ruang di hatiku, ia kemudian bermain-main dengan kelenjar air mata. Beberapa kubik isinya mulai berebut keluar dari pelupuk mataku. Mataku mulai panas dan penglihatanku kabur.

Ia benar-benar tak bisa dikendalikan!

Aku pasrah. Kubiarkan ia menang kali ini. Kelenjar air mata juga menyerah. Tak kuat karena urat-urat syarafnya terus diremas paksa agar mengeluarkan isinya. Air mataku luruh sudah.

Di atas sana, neocortex sudah terkapar sedari tadi. Sama seperti diriku yang juga sudah terkapar tolol di lantai. Meraung-raung dalam hati menyebut nama yang dirindukan. Berteriak tanpa suara. Tanganku sibuk menggenggam air mata yang becek di lantai.

Tuhan, haruskah sesesak ini mencintai seseorang?

Kau, Aku, dan Air Langit

Der Brille Mann und ich...
Brille Mann, mein mit der Brille Mann...


Kau, aku, dan air langit
Mencumbui malam dengan doa
Tanpa dunia yang mengenal kita

Terkadang, mencoba mengupas kulit kehidupan dengan aksara
Berharap enigma malu, karena kita menyibak tabirnya

Ah...mein mit der Brille Mann

Betapa aku ini perempuan dungu
Mencoba mengindraimu dengan netra
Padahal kau itu hanya utopia
Fatamorgana bagi kafilah
Indah. Namun eksistensinya nihil
Gamang. Seperti cahaya lilin ditepuk-tepuk angin

Brille Mann...Brille Mann

Kalau boleh kuanggap ribuan laksa tetes hujan adalah implementasi perasaanku
Maka keluarlah, menarilah di bawah guyurannya
Agar kau kuyup akan rinduku
Dan aku dapat memelukmu melaluinya, hujan kita
Hujan yang selalu ingin kunikmati bersamamu

Tuesday, December 4, 2012

Kulminasi rindu

Untukmu Muhammad, Ya Rasulallah, manusia kecintaan Allah...

Berawal dari sebuah buku yang tengah kubaca tadi malam. Baru pada lembar pengantar, air mataku sudah menderas. Bukan, bukan karena buku itu musabab tangisku.

Hanya saja, buku itu berhasil mengingatkanku pada sebuah rindu. Rindu yang terlanjur membesar. Mengendap sekian tahun dan belum pernah tunai.

Sungguh aneh, merindukan seseorang yang bertemu saja belum. Yang menatap wajah purnamanya saja belum. Mencium wangi tubuhnya saja tak bisa.

Seseorang yang terpaut ribuan kilometer dan berabad jarak. Seseorang yang dengan mendengar namanya saja sudah membuatku gemetar. Gemetar oleh rindu yang begitu maha.

Malam tadi, rindu itu meruap lagi.

Iya. Aku rindu pada Muhammad bin Abdullah. Manusia terbaik yang pernah berjalan di muka bumi.

Merindu mahluk yang berabad jarak dan ribuan kilometer. Jelas tak masuk logika mana pun. Tapi memang iya kan, cinta memang menganulir logika.

Rindu ini membuatku sesak, Ya Rabb.

Sungguh aku iri pada ahlul bait, pada para sahabat, para sayyidina yang hidup pada zamanmu, Ya Rasulallah. Sungguh aku iri pada mereka yang dapat bertatap wajah denganmu, melihat cahaya surgawi di matamu, menyaksikan tanda kenabian di bahumu.

Ya Habiballah, betapa aku merindukan kau mengetuk-ngetuk pintu rumahku, mengucapkan salam padaku kemudian mengajak shalat berjamaah sebagaimana yang kau lakukan pada Fatimah r.a. Betapa aku benar-benar merindukan dapat melihat langsung senyum dari bibir yang selalu mengucap dzikir itu. Betapa aku merindukan dapat dijenguk olehmu ketika aku jatuh sakit layaknya kau menjenguk Abu Thalhah. Betapa aku ingin syahid dengan melihat wajahmu, seperti Mukhayyiri.

Mungkin malam tadi adalah kulminasi rinduku selama ini. Tangis ini semata hanya akumulasi kerinduan menahun yang tak kunjung tunai. Rindu yang sudah ada sejak aku mendengar namamu. Rindu yang sudah sedemikian massif, hingga tak bersisa ruang lagi di hati untuk menampung rindu ini. Rindu yang terlanjur meluap.

Aku menangis lagi.

Entah tangisku ini memang karena aku sungguhan rindu padamu atau merasa diri hina, tak pantas menyebut bahwa merindukanmu, Ya Mustafa?

Sungguh sebenarnya aku malu mengatakan aku rindu, jika menghadirkannya dalam kehidupanku saja tak pernah. Jika mengamalkan As-Sunnah saja masih berat. Mungkin rindu ini tak ada satu kulah pun jika dibandingkan kecintaan Fatimah, Ali bin Abi Thalib, atau Thalhah atau Mukhayyiri atau Bilal bin Rabah. Tapi biarlah, biarlah air mata yang bahkan belum mengering ini menjadi saksi di mahkamahNya nanti. Berapa besar aku mencintaimu, berapa besar aku merindukanmu, biarlah air mata ini yang akan menjadi hisabnya.

Duhai lelaki agung pemilik rindu...
Betapa aku malu. Begitu banyak puisi lahir dari tanganku namun tak satu pun menyebut tentangmu. Biarlah tulisan ini menjadi kado kecilku untukmu, duhai Nabi Allah. Sebuah tulisan yang hadir hanya lantaran tak tahu lagi mesti kemana rindu ini kualamatkan.

Maka melalui tulisan ini, aku hanya ingin membagi rinduku. Rindu yang tak sanggup kutampung sendiri. Pada kalian, umat yang selalu dicintainya dengan segala kelembutan hati.

Ya Allahurabb, duhai Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku ingin bertemu dengan rasulMu, kekasihMu. Walau sekadar mimpi. Satu mimpi saja. Sampai akhirnya aku dapat benar-benar bertemu dengannya di Padang Mahsyar. Sampai saat itu, duhai Dzat Yang Memberikan Rindu. Aku mohon...

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad.

Tuesday, November 6, 2012

Topeng


Suatu hari seorang teman bertanya pada saya. Saya lupa tepatnya bagaimana, tapi kira-kira seperti ini, “Ndo, pendapat lo tentang topeng gimana?”

Hmm…saya perlu berpikir cukup lama untuk menjawab itu. Bukan karena belum punya jawaban. Tapi saya mesti memutar otak bagaimana kawan saya itu dapat menerima jawaban saya.

“Topeng ya? Hmm…kebanyakan orang menilai memakai topeng itu ga baik, munafik, ga jadi diri sendiri. Tapi menurut gw pribadi, kita perlu memakai topeng.”

“Oh ya? Untuk apa?”

To protect ourselves. Memangnya lo mau menelanjangi diri lo yang sebenarnya bulat-bulat di depan orang yang belum benar-benar lo kenal? Kalo gitu, lo blunder namanya. Kita kan ga pernah tahu apa yang ada di pikiran orang. Di jaman sekarang, mudah aja nemuin orang yang tadinya kawan tiba-tiba bisa jadi lawan. Begitu dia tahu elo luar dalem, abis dah lo.”

“Maksud lo, ga jadi diri sendiri gitu?”

Nope. Gw rasa ga masalah kita memakai topeng selama topeng-topeng tersebut memang punya kita. Ibarat pakaian, lo pasti punya beberapa dan bakal lo pakai sesuai sama tempat yang bakal lo datangi, orang-orang yang lo temui asal lo tetep nyaman memakai topeng itu. Yang jadi masalah sekarang kan, banyak orang yang memakai topeng yang bukan miliknya. Itu yang bikin mereka ga jadi diri sendiri. Ketika memakai topeng itu kelihatan banget ga nyaman, kelihatan banget pura-puranya. Fake.”

“Jadi selamanya bakal pake topeng terus?”

“Diri gw yang sebenarnya hanya pantas untuk orang-orang yang memang benar-benar sayang sama gue. Yang menerima gue apa adanya. Gue baru akan benar-benar melepas topeng-topeng itu di depan mereka. Mereka berhak tahu tentang gue.”

“Masuk akal. Kalau bukan kita yang mulai melindungi diri kita sendiri siapa lagi.”

“Jaman sekarang ngeri coy. Atau kalau bukan masalah jaman nih ya, mungkin masalah umur. Di usia-usia kita sekarang, sedikit banget yang mau temenan sama kita pure tulus mau temenan. Banyakan ada maunya. Beda banget sama waktu kecil. Kita bebas telanjang bulat-bulat kasi tahu siapa diri kita, karena teman-teman kita yang memang tulus. Sekalipun ada yang ga suka, ya mereka terang-terangan musuhin. Ga usah pake topeng. Itulah makanya gue respek banget sama temen-temen SD gue,” kawan saya yang lain ikut menimpali.

Sounds so cynical, doesn't it? But really, all of my thoughts based on my expriences. Berdasarkan dari apa yang saya lihat selama ini, apa yang terjadi pada saya, pada orang-orang terdekat saya. World isn't a safe place, so grab some masks!


Saya harap, pembaca sekalian bisa membaca postingan ini dengan pikiran terbuka. Saya hanya mencoba melihat dari sudut pandang lain. Semoga bermanfaat :)


Dan ketika kau mulai engap dengan topeng-topengmu itu, maka kembalilah. Kembalilah pada Tuhanmu, pada mereka yang menyayangimu. Karena hanya mereka yang sanggup melihatmu seutuhnya.

Monday, August 20, 2012

Mendiam

Aku ingin diam
Ingin mendiam saja

Agar bisa mendengar lebih banyak
Agar bisa tahu begitu jamak

Maka, mengheninglah bersamaku
Mendengar dunia
Bahkan jika mereka membisik-bisik
Kita tetap mendengarnya

Orkestra ombak
Ilalang melagu
Serenade angin
Pasir mendesah
Senandung para lebah

Sungguh benar aku ingin mendiam

Duhai saudaraku, ikatlah lidahmu supaya geliatnya tak menyakiti
supaya tariannya tak membuat malu
Atau lunaknya tak membuat nyeri hati

Tuesday, August 14, 2012

Ironi Pertama


Gw udah pernah cerita sebelumnya. Suatu hari di dunia tubbie, eh salah, suatu hari gw ke terminal sambil nenteng-nenteng kamera Nikon D3000 hasil minjem dari temen gw. Hari itu niatnya gw mau ngerjain tugas mata kuliah fotografi jurnalistik. Gw dapet tugas buat nyari foto ekonomi. Well…gw milih hunting di terminal aja karna kan pasti banyak tuh orang jualan. Itu kamera emang agak mencolok sih di terminal. Secara ada pelindung lensanya jadi keliatan gede banget. Walhasil, mau ga mau gw jadi pusat perhatian.

Nah pas lagi asik-asik moto tukang jepitan, jepret sana jepret mari, tetiba ada yang ngedorong gw sampe jidat gw kepentok sendiri sama kamera yang lagi gw pake. TOK ! Mayan itu kejedug kamera. Untung kameranya gapapa. Gw kira yang ngedorong itu temen gw yang lagi ikut hunting juga. Sambil mikir ngapain juga tu anak dorong-dorong gw sih. Kurang kerjaan bet. Pas nengok ke belakang, ga taunya temen gw juga lagi bengong kebingungan. Ga taunya bukan dia yang dorong gw sodara-sodara. Melainkan orang aneh tak dikenal yang terlihat melengos pergi begitu aja sambil misuh-misuh. Pas gw inget-inget lagi pas dia ngedorong gw, gw ngedenger dia mengucapkan sesuatu seperti “orang-orang yang kaya gini ni yang belagu.” Hah..krik banget ! Apa pulak maksutnya ???

Kemudian, tukang jepitan yang lagi jadi model gw yang juga melihat kejadian barusan berusaha membesarkan hati gw. “Udah teh, biarin aja. Di sini emang gitu. Orang gila dasar.”Akhirnya gw milih untuk ga ngegubris kejadian tadi dan nerusin jepret-jepret sana sini. Meski begitu, kejadian tadi bikin gw jadi mikir. Orang aneh tadi, kalau bisa gw sebut sebagai representasi kaum marjinal, bisa sampe melakukan hal itu lantaran saking bencinya sama orang kaya. (Mungkin dia nganggep gw orang kaya gegara bawa-bawa kamera gitu,padahal sebenernya engga juga). Benci karena merasa ia diperlakukan ga adil, merasa dikhianati oleh takdir, dipunggungi nasib. Huumm…

Selang satu atau dua hari kemudian, gw jalan sama temen-temen deket gw pake mobilnya salah satu dari mereka. Rencananya kita mau pada dateng ke acara reunian SMP. Berhubung kita jarang banget ngumpul lengkap gitu, kita jadi punya gagasan untuk jalan lagi kelar reunian.

“Jadi nih, kita jalan entar? Mau kemana?” Kata salah satu temen gw di tengah perjalanan.

“Ke terminal aja. Ke tempat gw.”

“Hah? Ngapain?”

“ Maen aja. Liat rumah baca gw. Asik lo.”

“Lha terus mobil gw taro mana?” Kata temen gw yang punya boil.

“Ya parkir aja di terminal. Aman kok.”

“Aduh..engga deh Ndo, serem gw.”

“Gapapa. Temen gw juga sering bawa mobil ke sana. Ada yang jagain.”

“Tetep aja. Takut gw.”

Gw diem.

Entah ya, kok gw rasanya baru aja ngeliat sebuah ironi di sini. Kemaren baru aja ada orang yang bilang gw belagu karena bawa-bawa kamera. Sekarang temen gw yang ogah ke terminal gara-gara takut mobilnya kenapa-kenapa.

Gw ga bermaksud menyinggung suatu pihak mana pun. Tapi gw rasa, dengan melihat dua kejadian tadi gw jadi punya jawaban sementara mengapa negeri ini masih saja seperti ini. Yang kaya mah tambah kaya, yang miskin tetep aja miskin, malah makin susah. Gimana engga? Yang miskin, bencinya bukan main sama yang kaya. Dan yang kaya, malah menaruh curiga sama yang miskin.

Bukan, bukan gw nyalahin temen gw. Dia begitu juga bukan tanpa alasan. Dia hanya menjaga harta bendanya. Itu kewajiban dia. Bukan pula gw benci sama orang aneh tadi. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah, sampai kapan mau seperti ini? Sampe kapan terus-terusan menaruh curiga kepada yang lain? Sampe kapan mau iri-irian?

Udah saatnya kita peduli, teman. Bukan gw merasa udah jadi orang bener. Gw cuma mau mengajak kalian untuk mulai peduli. Hidup ini terlalu singkat untuk menikmati kebahagiaan sendirian. Berbagilah…

Moga ga ada yang tersinggung ya, dengan tulisan ini. Gw cuma mau berbagi kok. SALAM JALANAN… :)

Rumah Penuh Cinta

Tahukah kamu tempat terindah?
Tahukah kamu…rumah penuh cinta?


Ada satu tempat di mana kamu bisa bermimpi sebebas-bebasnya. Di mana para pemimpi akan merasa semakin dekat dengan mimpinya. Di mana harapan akan selalu ada meski dalam keterbatasan. Dengan cinta yang menyatukan perbedaan. Dan tempat itu berhasil membuat aku jatuh cinta.

Di tengah panas terik mentari
Di tengah riuh rendah bising terminal


Bukan di padang penuh bunga cantik bermekaran. Bukan di pinggir pulau dengan pantai cantik menawan. Bukan pula di kompleks perumahan para jutawan.

Tempat itu mewangi pesing, bermuka debu, berselimut daki jalanan, bermandi peluh matahari. Bising oleh klakson bus, dan angkot, teriakan supir mencari penumpang, jajaan para pedagang asongan, dan juga….tawa. Tawa para malaikat kecil yang sayapnya terpaksa tergerus oleh kerasnya jalanan.

Di sini kami belajar, mencari arti cinta sebenarnya
Di sini kami mengejar, temukan jalan tuk meraih mimpi


Tujuh bulan sejak aku mengenal tempat itu. Ada yang bilang baru tujuh bulan, ada yang bilang sudah tujuh bulan. Sungguh waktu adalah sesuatu yang begitu relatif. Namun untuk sebuah pembelajaran, waktu tujuh bulan itu mengajariku banyak hal.

Tempat yang membuat doaku berubah, untuk tak lagi hanya meminta tapi juga mulai bersyukur. Tempat yang membuatku malu memohon untuk diriku sendiri, bahkan kepada Tuhan. Karena aku menyadari betapa selama ini Tuhan sudah memberi lebih dari cukup. Bukan aku kufur, namun nyatanya aku jauh lebih beruntung dibanding para malaikat kecil itu.

Para malaikat yang lebih sering berlari ketimbang terbang lantaran sayap mereka yang tak sempurna. Helainya lepas satu-satu, digugurkan oleh hantu bernama realitas. Untuk itulah aku, dan juga teman-temanku sesama pemimpi, datang. Membantu mereka untuk memunguti lagi helai demi helai mimpi mereka. Agar nanti akan ada sebuah keniscayaan bahwa kami akan melesat ke langit bersama, dengan sayap mereka yang sudah sempurna.

Rumah baca kami…
Tempat melabuhkan semua mimpi dan angan-anganku


Akhirnya aku menemukan muara untuk mimpiku. Mimpi yang membuat orang terkekeh ketika mendengarnya. Mimpi yang membuat orang mengiyakan untuk menyenangkan hatiku saja. Mimpi yang tidak dipercaya oleh orang-orang. Dan kini mimpi itu kian detik kian dekat. Bahkan semakin membesar.

Rumah baca kami…
Tempat memadukan semua harapan dan semangatku


Iya, mimpi itu tempat di mana segalanya menjadi madu. Manis.
Memang, tak serta merta membuat pesing itu menjadi harum atau got bau itu menjadi kolam susu. Tapi penuh harap meski papa.

Dan tentunya akan terasa lebih manis seandainya teman-teman terbaikku juga ikut dalam mimpi ini. Seandainya. Aahh…mudah-mudahan itu karena mereka memiliki cara sendiri untuk perjuangan mereka. Seperti seandainya aku tahu perasaan kedua orangtuaku mengenai mimpiku ini. Seandainya..seandainya…

Rumah baca kami…

Iya. Tempat itu rumah baca. Rumah Baca Panter. Rumah Baca KAMI. Tempat yang menyatukan aku, kamu, dia, mereka, kalian, menjadi…kita.

Kekuatan cinta menyatukan kita.

Bersama, kita buat mimpi ini menjadi nyata. Kita buka lebar-lebar mata mereka yang terpicing, silau oleh kedudukan. Kita buat malu mereka yang bersafari, yang seharusnya peduli.

Ini simfoni mimpi kita, kawan. Bermimpilah…bermimpilah. Sebelum hatimu tuli dan kau tak bisa bermimpi lagi.

*This is for you all, guys! Manusia-manusia pemimpi di Rumah Baca Panter. Gw sayang kalian. Pake banget. Super duper big hug and smooch. Mmuuaahh… *kecup satu-satu

*Kata-kata yang dicetak miring merupakan lirik Ruba Panter Anthem ciptaan Andi Sera Malewa



Friday, June 8, 2012

Pengakuan Uli

Selain di terminal, gw sebelumnya udah ngajar bocah-bocah di kampus. Jadi, sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat, kampus gw bikin semacam les gratis buat anak-anak SD di sekitaran kampus gw. Dan yang ngajarnya ofkors mahasiswa-mahasiswa yang bersedia jadi relawan pengajar. Semester awal di kampus gw langsung daptarin diri. Dan ini berarti udah 2 taun lebih gw ngjar di sana. Tapi ada satu cerita yang bikin gw 'nyeeess' bangeet di situ.

Ada satu anak yang lumayan deket sama gw. Namanya Uli. Umurnya sekitar 6 taun. Cantik. Tergolong anak yang cukup welcome sama semua orang. Meski gw ga pernah ngajar di kelasnya, hampir setiap jam istirahat gw main sama dy. Pengajar yang lain sendiri lebih suka bermain dengan adiknya, Poda, yang memang lebih lucu. Dan gw, selalu punya prinsip tidak pernah mau memiliki selera yang sama dengan orang kebanyakan. Tidak mau memiliki kesukaan yang sama dengan orang kebanyakan. Maka, gw menjadi lebih dekat dengan Uli.

Nothing special sampe suatu ketika, pas kita mau pulang siap baca doa, gw berdiri di depan ruang kelas jagain anak-anak biar pada ga keluyuran sebelum kelas bubar. Tiba-tiba Uli ngehampirin gw. “ Kak, ayo baca doa, yuk!” Dengan tangan kecilnya dia menyeret tangan gw supaya ngikutin langkahnya.

Tadinya gw mau ke depan ke tempat biasanya pengajar duduk. Tapi dy bilang, “sini aja kak, sama aku.” Gw pun duduk sambil mangku adek sepupunya. Di depan, salah satu temen pengajar gw masi ngomel-ngomel karena itu bocah-bocah pada ga bisa diem padahal mau pulang. Sedangkan si Uli malah ngajarin ade sepupunya supaya berdoa.
“Ayo adik kecil, berdoa. Tangannya yang bener. Tuhan yesus. Naahh...begitu,” celotehnya ga berenti2. Yup bener, si kecil uli itu nasrani.

Gw jadi inget sama pertemuan pertama gw sama dy.

Sambil megang2 jilbab gw, “Kakak orang islam, ya?”
Gw langsung nunduk ngeliat dia. Bingung sama pertanyaan yang menurut gw sebenarnya tidak lazim dilontarkan anak sekecil itu. Gw Cuma bisa senyum, “iya.”

“Kalo aku orang Kristen,” katanya lagi, polos.

Ngedenger omongannya gw makin tersenyum. Gw usap-usap kepalanya, “memangnya kenapa?” Dia cuma jawab dengan nyengir sambil geleng-gelang kepala terus langsung cabut.

Berikutnya, dia tetep maen sama gw.

Sampe hari itu, sampe hari pas dia ngajarin adek sepupunya berdoa. Adek sepupunya bangun dari pangkuan gw ke pengajar laen. Tinggallah si Uli yang gentian ngejogrok di paha sama betis gw. Lalu dia setengah berdiri berbalik dan memeluk leher gw, sambil ngomong ke tantenya yang ada di samping gw, dia bilang, “aku sayangnya sama kakak ini.”

Jleb..blitz..blitzz..

Whooaaa...reaksi pertama gw bengong. Ga nyangka bakal ngedenger ucapan itu dari mulut salah satu murid gw. Sulit dipercaya ada yang ngomong gitu ke gw. Sungguh gw terharu. Selama dua taun ngajar di situ, menurut gw saat-saat itu merupakan pencapaian yang paling krusial sejauh ini.

Kita pun mulai berdoa membaca surat Al-Ashr keras-keras seperti biasanya. Dan saat gw berusaha khusyuk dengan surat demi masa itu, Uli ngeliatin gw. Entah apa yang ada di pikirannya. Berikutnya saat anak-anak udah mulai salim, dia bener-bener ga mau lepasin tangannya dari gw. I don’t know, how come?

Anak kecil tetap anak kecil. Dia akan sayang dengan apa yang memang disayanginya. Ga mandang perbedaan, bahkan yang paling hakiki sekali pun. Aaahh...uli. terima kasih sekali. Kakak juga sayang sama Uli. Tapi kata-kata itu hanya tertahan di hati. Ga sampai keluar dari rongga mulut gw. Lihat kan ? Lihat betapa tololnya gw kan ?? Aaahh...bodoh sekali kakakmu ini, Uli.

Pembelajaran Pertama

Akhir-akhir ini gw mengalami banyak hal. Well gw bakal ceritain kejadian-kejadian absurd yang gw alami setelah gw gabung saama RuBa Panter. Pertama pelecehan seksual ringan yang gw alami. Jadi gini, ada anak idiot yang suka tidur di ruba, nah dia lagi itu badannya panas, pas gw mau megang jidatnya, dia langsung meluk tangan gw dan ga dilepas-lepas. Then, yang terjadi berikutnya adalah he licked my arm !!! Goosshhh...yuck..jijik bangat !!!! Siigghhh...

Sekalinya mengalami pelecehan seksual malah sama anak kecil. Entah harus ngomong apa -___-

Lalu gw ceritain ini ke Uda @obet_14 dan reksi dia biasa banget. Dia bilang tu anak nyangkanya tangan gw eskrim kali. Dia ga tau apa butuh berapa besar keberanian gw untuk mengatakan itu semua dan dia cuma bilang gitu. Tapi setelah dipikir-pikir reaksinya itu bikin masalahnya jadi sekedar piece of cake. Huff....


Lalu, ga lama pas gw moto pake kameranya Imam @huseinimam di terminal, tiba-tiba gw dijorogin sama orang ga dikenal. Katanya “orang2 kaya gini yang belagu,” terus pergi berlalu. Gw sempet kaget, tapi kalo dipikir2 lagi (mikir mulu lo ndo) kejadian itu merupakan implementasi betapa antipatinya dia-kalo tu orang bisa mewakili kaum marjinal yang laennya-terhadap golongan berada. Betapa mereka sering dikecewakan, dipunggungi, dikhianati nasib yang seolah selalu berpihak pada orang kaya. Heemmm...hemm...

Lalu besok malemnya, pas pulang dari tempatnya njoy @enoenjoy maen sepatu roda, jam 10 lewat margonda dan gw melihat My Princess, salah satu murid gw yang paling pinter, Putri, masi ngamen di sekitaran kober. Sambil gonjrang genjrengin ukulelenya. Ga lama gw diturunin di margo. Gw naek D11 dan seperti biasa gw mau duduk di depan. Ga lama ada pengamen bocah naek, gw masi ga ngeh. Tapi kayanya gw appal sama suaranya. Dan taraaa..that was Rohim. My little one. Malu-malu gitu pas gw sapa. Pokonya itu pertama kali gw nyesel gw duduk di deket sopir. Aduuhh..jam segitu masi ngamen. Khawatir to da max gueenyaa. Gw turun di stm-ga seperti biasanya. Pengen ketemu si Oim dulu. Eehh...dia ngadu kalo kemaren abis digigit anjing pas lagi ngejar layangan di terminal. Trus dengan polosnya nanya gini,
“Ka, aku jadi orang Kristen ga sih kalo digigit anjing?”

Heeppp...glek..gw bingung...terus langsung ketawa. Hahahahaha.....

Akhirnya gw suru dia pulang aja karna udah malem. Pas gw nyebrangin dia, dia salim trus ngomong gini “good morning”. Tepat pukul sepuluh malam. Hehehehehe...geleng-geleng aja guenya....

Aaahhhh..gw jatuh cintaaaa. Jatuh cintaaa sama merekaaaa. Jatuh cinta dengan mengajar.

The Crew

Aku jatuh cinta. Iya jatuh cinta.

Jumat, 18 Februari 2012. Malam itu, kali pertama aku bertemu dengannya. Dengan membawa sejinjing buku pelajaran bekas, aku sampai di terminal Depok Baru. Kuhirup dalam-dalam aroma sisa-sisa hujan tadi senja, berharap wangi tanahnya masih menyisa. Dan aku melihatnya, di sana. Berdiri di tengah himpitan kios-kios warteg, dengan banner seadanya. Ringkih, namun menyimpan selaksa harap. Saat itu aku tahu, hidupku akan berubah. Banner asal-asalan itu melambai-lambai dimainkan angin seolah mengajakku mendekat. “Kemarilah, ini aku, Rumah Baca Panter,” begitu kedengarannya di telingaku.

Sebelumnya, gw kenalin dulu manusia-manusia yang ada di Rumah Baca Panter.


The Man Behind Rumah Baca Panter

H. Agus Kurnia a.k.a Abah
Penguasa terminal (ajeh gileeh) yang punya hati luar biasa besar. Gimana engga ? Reman-reman terminal yang tadinya tukang nyopet, pemerkosa, maling, de el el menjelma jadi petugas kebersihan terminal gegara doi. Pemuda-pemuda yang ga ada kerjaan dibikinin tempat steam mobil-mobil angkot buat penghasilan mereka, manteeeb kaaan. Nah, beliau ini yang jadi penanggung jawab Rumah Baca Panter di bawah organisasi Paguyuban Terminal (Panter). Biar hebat begitu, beliau tetep low profile. Slogan andelannya “ancuuurr…”, yang akhirnya jadi slogan di segala penjuru terminal Depok. Termasuk gw jadi ikut-ikutan -___-

The Founders

Andi Sera Malewa @andivox : orang Makassar, idealis, cerdas, tapi kadang sarapnya juga keluar sih. Bikin gue sangsi, (kok punya ketua begini amat yaa?? =__=a), pinter nyanyi, dan menurut gw, termasuk orang yang beruntung, soalnya bisa-bisanya dia dapetin kak Juni (???). Kalo ga kuat iman, mending gak usah ngomong deh sama dia, daripada lo murtad. Muahahahahaha…..

Denti Apriliani @dentyeyo : imigran Kalimantan yang sering ngaku-ngaku orang Arab, padahal emang gw ga tau dia sebentar lagi bakal dideportasi ke Tibet karena tingkat kemereman matanya yang ga sesuai sama kondisi geografis Indonesia. Deket banget sama Bang Andi, sampe-sampe Bang Andi bilang kalo dia yang bakal jadi walinya Denti kalo dia nikah (emang minta dikebiri ini orang sama bokapnya Denti)

Juni Ulfa @June_ulfa : orang Aceh, arsitek, cakepnya 11:12 lah sama gw, tapi heran, kayanya doi demen banget ngemil herder, abisan galaaaakkk bangeettt -____-. Apalagi kalo lagi nawar barang, konon tingkat kesadisannya bisa bikin pedagang alih profesi jadi tukang cukur saking traumanya.

Fariska Fikri @frezka_fikri7 : Analis kimia keturunan Arab Yaman, hapenya BB Hidayah dan sekarang lagi galau gegara doi ga bisa lanjut kuliah kedokteran karena lulusan SMK (padahal esemka-nya jurusan kesehatan). Meski begitu, meski kecil-kecil begitu, maen futsalnya jago, buktinya kalo mau futsal pasti gw disponsorin deh, mule dari baju ampe sepatu.

Maria Alicia @AliciaVanAkker : Fakir jomblo tuna asmara, tapi public speaking-nya jago. Buktinya dia suka diundang jadi motivator ke sekolah-sekolah. Walopun jomblo, belakangan doi lagi pedekate sama perpus UI gegara lagi ngurus skripsinya (weks). Gw jeles nih, takutnya dia bener-bener jadian ama tuh perpus . Oh iya, sama kaya gw dia lagi ngejalanin Misi 21, lhooo.

The Teachers

Chairis Sahar @chairissahar :Vegetarian jangkung yang hobi banget belanja ke mangga dua. Ya iyalah, doi kan yang ngajarin anak-anak gede di terminal cara ngerakit computer. Mahasiswa semester 8 Binus University ini sempet khilaf akademis pas di awal-awal semester, tapi akhirnya dia kembali ke jalan yang benar setelah ketemu gw (eh?). Baru-baru ini doi jadian lho, sama cewek temennya temennya salah satu anak Rumah Baca (RuBa).

Eka Citra Mahera @ekamahera : Ni orang dari sekarang bakat emak-emaknya udah keliatan. Jadi ama bocah-bocah udah kaya emaknya. Belom lama ngajar baca tulis dan matematika di rumah baca, tiba-tiba terlibat affair dengan salah satu pengurusnya. Belakangan manggilnya udah abi-umi aja. Doi pasangan abadi gw. Kenapa? Karena tiap gw kejebak ujan pasti selalu olweys sama dia. Gw jadi merasa, dia adalah jodoh gw yang selama ini gw cari.

Sri Kusnayaini @srikusnayaini : Sama kaya Eka, manusia berbehel ini juga punya bakat nyokap-nyokap. Buktinya pas mentas teater waktu peresmian Rumah Baca, doi menghayati banget tuh berperan jadi emak-emak. Sampe nangis-nangis garuk-garuk tanah. Gw sih tau itu bukan penghayatan, tapi karena kakinya kepanasan gegara ga pake sandal. Doi ini yang ngajarin anak-anak ngaji tiap malem jumat dan sabtu.

Imel Ismadi @mellhana : Frau bahasa jerman ini demen banget minum susu. Balita aja kalah sama dia. Bisa kali sehari ngabisin persediaan susu sebulan. Biar gitu doi pinter nyanyi. Tapi entah apa yang terjadi, pas penggalangan dana kemaren doi khilaf ngajakin gue duet lagunya Ten2Five. Semoga Allah memberinya hidayah. Amin...

Restu Diantina Putri @monddoo : Cantik, baik hati, pintar, humoris, rajin solat, rajin menabung, tidak sombong. Aduh pokonya perfek banget deh guru bahasa inggris yang satu ini. Sulit menemukan kekurangannya. Saking perfeknya, tukang cimol sama molen unyu ngefans banget sama doi. Itu juga karena doi konsisten jajan dagangannya. Ah udah ah...ga mau cerita lebih banyak lagi tentang mahluk seksi ini. Nanti mengundang kontroversi. *langsung digebukin orang seterminal

The Donor

Yogawiro @yogawiro : Tau puisi Karawang-Bekasi? Iya emang bukan dia yang nyiptain. Doi cuma numpang idup aja di tempat yang disebutin Chairil Anwar di puisinya itu. Mahluk goyang Karawang ini merupakan donator tetap Rumah Baca Panter hasil dipelet sama Bang Andi. Muakakakaakkak…belakangan udah jadi Aa-nya Neng Denti (aiihhh…mau dong punya Aa >,<). Kadang gue kesel ama doi, abisan jenggotnya ituuuu...hobinya ngajak berkelahi banget.

Segitu dulu aja kali yak perkenalannya. Actually, masih banyak manusia-manusia absurd lainnya di RuBa Panter. Tapi di postingan gw yang laen kali ya ceritanya. :*

Welcome Back Dulu Buat Gueehh...

Lama ga nulis. Bukannya ga cinta, yah sebut aja kalo gw lebih sibuk sama dunia nyata gw. Eniwe, gw udah punya kegiatan baru sekarang. Terhitung mulai tanggal 5 Maret 2012, gw udah mulai ngajar bahasa Inggris buat anak-anak di terminal Depok di bawah naungan Rumah Baca Panter. So, abis ini gw bakal bikin tulisan khusus tentang Rumah Baca Panter. Here we go...