Saturday, August 28, 2010

The Conversation

Selasa, 17 Agustus 2010
21:00 WIB

Aku beranjak meninggalkan TV yang masih menyala dan masih terus menyiarkan sebuah acara pergelaran music bertemakan hari kemerdekaan. Memang hari ini tepat 65 tahun sudah negeri cantik ini terbebas dari penjajahan kaum-kaum imperialis. Tiga ratus lima puluh tahun dari bangsa pembuat dam dan tiga setengah tahun dari bangsa pemakai kimono. Ras yang berbeda memang. Satunya kaukasoid, yang lain mongoloid. Namun kekejamannya sama saja.

Yah, nostalgia. Nostalgia yang ironis.

Tapi bukan itu yang mengusikku. Bergeming aku meilhat performa para pengisi acara tadi silih berganti menyanyikan karya anak bangsa. Masterpiece yang mengagungkan keindahan negeri khatulistiwa tak henti-hentinya tersaji seolah mendesakku untuk berimpresi yang indah-indah.

Lagu, tarian, serenade, music, syair. Semua tentang tanah air ini. Dari tanah air ini. Oleh tanah air ini. Dan untuk tanah air ini.

Setiap inci tanahnya, setiap tetes airnya, setiap ragam budayanya, setiap helai pakaian adatnya, setiap senyum orang-orangnya. Semua sudah diungkap.

Kuhempas tubuhku pada kursi rotan tua yang berada di teras rumahku. Malam ini cukup hening untuk sebuah malam tujuhbelasan. Sepuluh tahun yang lalu, sorak sorai penduduk masih gemuruh terdengar setidaknya sampai tengah malam. Hingar binger dari panggung dangdutan, penduduk yang asyik lomba karaoke. Dan sekarang semuanya itu hanya sebuah dulu.

“Ada yang mengusik hatimu, Bestari?”

Hah. Siapa itu? Suara perempuan. Tapi ibuku jelas-jelas sudah tidur.

“Siapa itu?”

“Aku? Aku ya aku.”

‘Aku pasti sedang berhalusinasi.’

“Kau tidak sedang berhalusinasi, Sayang?”

“Kau…bisa baca pikiranku?”

“Anggap saja aku mengerti benar tentang anak-anakku.”

“Anak? Siapa kau? Dimana kau? Aku bahkan tidak melihatmu. Apa kau hantu?”

“Hahahahaha...kau menyebutku hantu? Benar-benar durhaka. Kau tidak mengenaliku, Sayang?

“Sinting!!!” Aku bergegas meninggalkan teras.

“Ini aku…Pertiwi. Kalian biasa memanggilku Ibu Pertiwi.”

Langkahku terhenti demi mendengar kata-kata barusan. “Duduklah, Bestari! Temani aku.”

Aku duduk. “Kau..benar-benar Ibu Pertiwi?”

“Kau pun takkan rugi kalau aku bukan Ibu Pertiwi. Nah, apa yang meresahkanmu?”

Aku membisu sangsi.

“Kau masih tidak percaya, ya?” Ia berdecak sesaat. “Aku melihatmu sepertinya sedang resah. Dan aku pun sudah lama tak bercakap-cakap dengan anak-anakku makanya aku memutuskan berbicara denganmu.”

“Aku tidak tahu kalau Ibu Pertiwi bisa bicara.”

“Aku hanya bicara pada yang mau mendengar. Dan aku tahu, kau juga mau berbicara padaku sebenarnya.”

‘Ugh, sok tahu.’

“Tidak baik berbicara seperti itu pada ibumu.”

“Nah, kau sendiri bisa membaca pikiranku.”

“Aku tahu semuanya. Semuanya yang terjadi pada anak-anakku. Semua yang dipikirkan
anak-anakku.”


“Apa kau menganggap dirimu tuhan?”

“Hahahaha..tentu saja tidak, Sayang. Tuhan yang menciptakanku. Aku sama saja sepertimu. Aku tentu saja tahu semua yang terjadi padaku. Sama seperti kau tahu semua yang terjadi padamu. Karena kau itu aku. Kau ada pada diriku.”

“Aku tak mengerti.”

“Hmm…aku adalah negeri ini. Indonesia. Aku tanah yang sedang kau injak. Aku pohon mangga yang ada di depan rumahmu. Aku kursi rotan yang sedang kau duduki.”

“Berarti kau sama seperti tuhan.”

“Tidak, Sayang. Aku tahu kau karena kau bagian dari diriku.”

‘Sumpah, aku bingung.’

“Tak ada yang perlu dibingungkan, Bestari sayang. Nah, kau bisa katakan padaku
kenapa kau melamun. Ada yang meresahkanmu?”


“Tidak. Aku…hanya bingung….” Kunaikkan kedua kakikku lalu memeluknya. Kuputuskan untuk berbicara saja dengannya. Toh tak ada ruginya pula.

“…aku bingung, apa yang sudah kulakukan untuk negeri ini? Aku belum melakukan apa-apa. Mereka sudah mengekspos negeri ini sedemikian rupa. Lalu, peranku bagaimana? Apalagi yang mesti kuberitahukan pada dunia tentang negeriku? Semuanya sudah dilakukan oleh mereka.”

Pertiwi tak menjawab.

“Maaf, Bu. Aku tak berguna.”

“Tidak begitu, Anakku.”

“Lalu aku harus bagaimana? Apa yang mesti kusampaikan tentangmu?”

“Hmmm...coba kita lihat. Mungkin kau bisa mengatakan kalau ibukota kita bukan Bali,
tapi Jakarta,”
gurau Pertiwi tapi nada bijaknya tak juga hilang.

“Tak lucu, Bu. “

“Ups, maaf. Hmmm…masih banyak hal tentang diriku yang belum diketahui oleh kalian sebenarnya.”

“Oh ya? Apa saja?” Aku mulai antusias.

“Hohoho...kau harus menjawabnya sendiri, Sayang.”

“Huh.”

“Kau bisa mengatakan tentang saudara-saudaramu.”

“Saudara-saudara yang mana? Yang mereka tahu itu kita adalah negara koruptur, Bu. Aku kecewa sekali dengan saudara-saudaraku itu. Mana bisa aku bercerita tentang mereka.”

“Yaaahhh…,” ia mendesah panjang. “Anak-anakku yang itu, mereka masih belum dewasa memang. Tapi kau terlalu jauh berpikirnya, Sayang. Menurutmu apa yang sedang terjadi pada kita?”

“Kita…dijajah kembali.”

“Aha. Oleh siapa?”

“Oleh kapitalis-kapitalis keparat yang membuat kami menjadi para hedonis. Yang membuat kami seperti orang tolol karena disuguhi sajian mereka yang memanjakan nafsu dan memenjarakan otak.”

“Bagaimana kalau kubilang, kita yang sedang menjajah diri kita sendiri?”

“Maksudmu?”

“Egoisme. Individualisme. Sekarang, paham-paham itulah yang menjerat anak-anakku. Kalian asyik memikirkan diri kalian sendiri. Bukan hanya dalam masalah materi tapi juga waktu. Kalian asyik saja mengekpolitasi kekayaan alamku. Memang masih banyak. Sekarang. Tapi bagaimana dengan nanti? Bagaimana dengan adik-adik kalian yang akan lahir menggantikan kalian setelah kalian membusuk di dalam tanah nanti? Bagaimana dengan anak-anak dan cucu-cucu kalian? Pernahkah kalian berpikir sampai kesana? Pernah, Bestari?” Nada Pertiwi meninggi. Nafasnya terengah-engah.

Aku menggeleng lemah. “Aku…”

“Kalian tidak tahu, kan, saat saudara-saudaramu yang culas itu menggunduli hutan-hutan Kalimantan, aku menjerit kesakitan. Aku menangis. Dan tak ada yang mendengar. Tak satu pun dari kalian mendengar.

“Dan kau tahu, Bestari? Saat tetangga kita mencuri pulau kita, pulau-pualu yang tak diurus oleh saudara-saudaramu itu, sebenarnya mereka telah meminta izin padaku. Tapi apa yang kubilang? Kubilang,
‘ambil saja, Tuan. Anak-anakku tak memerlukannya. Silakan, kuberi secara Cuma-Cuma!’

“Tapi saat kalian tahu, kalian begitu kelojotan seolah-olah punya hak untuk itu. Seolah kalian telah begitu baik merawatnya.

“Tuhan sudah memberiku harta yang bergelimangan untuk menghidupi anak-anakku. Tapi sebagian dari kalian terlalu serakah. Sebagaian lagi terlalu lemah. Kekayaanku seolah kurang mencukupi untuk kalian. Padahal awalnya kita keluarga terkaya di muka bumi ini. Dan karena keserakahan saudara-saudaramu, kita jatuh miskin. Kau tahu miskin apa, Bestari? Miskin kesadaran!! Miskin…”

“Kalau kau tahu semuanya kenapa tidak kau cegah??” Potongku dengan nada tak kalah tinggi.

“Aku tahu apa yang terjadi, bukan apa yang akan terjadi!”

“Kau bisa menghentikan mereka!”

“Aku tidak seperti ibu-ibu pada umumnya. Aku tak bisa menghukum anak-anakku jika mereka berbuat tidak baik. Apa yang kulakukan adalah kehendak Tuhan. Tuhan yang menggerakkanku. Aku hanya bisa menangis. Menangisi kalian yang menyakitiku.

“Tak apa aku disakiti. Tapi aku mencemaskan kalian. Cemas kalian akan mendapat murka-Nya, “
suaranya bergetar hebat. Lalu perlahan mengendur, “maaf, aku sudah berteriak padamu, Sayang.”

Aku menggeleng kuat-kuat. “Seharusnya aku yang meminta maaf, Bu.”

“Tapi tadi kau bilang, bagaimana kalau aku bercerita tentang saudara-saudaraku.”

“Maksudku, saudara-saudaramu yang lain. Masih banyak saudara-saudaramu yang aku banggakan. Yang masih memegang nilai-nilai luhur keluarga kita. Yang masih berbakti padaku. Kau bisa memulainya dengan yang ada di sekitarmu. Ceritakan saja tentang mereka. ”

Lama kami sama-sama meneriakkan kesunyian. Pertiwi terdengar gelisah dalam heningnya.

“Kau bilang tadi individualism. Bukankah banyak negara lain yang individualis tapi malah menjadi negara maju?” Aku tak tahan untuk tidak bertanya.

“Itu keegoisan kolektif. Mereka egois terhadap dunia. Mereka tahu kalau mereka egois satu sama lain akan menyebabkan kehancuran. Dan mereka menutupi kesadaran itu dengan keangkuhan sehingga tak dapat dilihat oleh kita yang berkiblat kepada mereka. Kita mengira kalau dengan individualism mereka kita bisa menjadi negara maju seperti mereka. Cerdik memang, harus kita akui.”

“Aneh. Bukankah kita punya pancasila, Bu? Bukankah sudah begitu ideal?”

“Hahahaha…pancasila. Pancasila itu buatan manusia, Sayang. Dan ketahuilah, tak ada ciptaan manusia yang sempurna.”

“Jadi menurutmu pancasila tidak benar?”

“Hmmm..tidak juga. Pancasila mungkin memang baik. Tapi sekali lagi itu buatan manusia. Tidak bisa dijadikan pedoman dalam setiap urusan. Begitu pula dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya. Semua bisa diputarbalikkan karena masih terdapat celah. Yang sempurna itu datang dari Tuhan. Maka kembalilah pada kitab-Nya. Kalau saudara-saudaramu mengingat akan hal ini, tentunya tak ada lagi anakku yang bunuh diri karena terlilit hutang 20ribu atau tak bisa melanjutkan sekolah.”

“……”

“Kenapa diam, Anakku?”

“Apa kau merasakan malam ini terlalu hening untuk sebuah malam tujuhbelasan?”

“Yah...kuakui memang agak sedikit lebih sepi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Padahal baru 65 tahun merdeka. Tapi seperti sudah berabad-abad merdeka sampai-sampai tak lagi peduli.”

“Apa karena ini ramadhan, Bu?”

“Hmmm…aku ingin mendengar teorimu.”

“Enam puluh lima tahun yang lalu, bukannya para pemuda yang membawa Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok pun dalam keadaan berpuasa? Sayuti Melik mengetik naskah proklamasi pada saat menjelang sahur, kan? Soekarno yang membacakan teks proklamasi, rakyat Indonesia yang berkumpul di jalan Pegangsaan itu juga tengah menahan lapar dan haus.”

“Kau memang bestari.”

“Aku memang Bestari.”

“Maksudku, kau cerdas. Persis seperti namamu. Bestari artinya cerdas, Sayang. Ibumu tak memberi tahumukah?”

“Pernah. Tapi kakek yang memberitahuku.”

“Yah..Enam puluh lima tahun lalu keadaannya memang sama seperti ini. Mereka yang tengah menjalankan rukun islam yang ketiga itu masih tetap berjuang demi negeri ini. Aku yang dipijak oleh mereka merasakan semangat yang begitu menderu menjalar pada setiap inci tubuhku waktu itu. Tubuhku ini dialiri oleh darah mereka yang tertumpah sewaktu membelaku. Kau tahu, darah mereka begitu harum. Sampai-sampai banyak negeri lain yang memuji wangi tubuhku.

Pori-poriku terbuka lebar pasca kata-kata tadi meluncur dari suara yang menenangkan itu.

“Aku benar-benar berharap, Bestari, anak-anakku sekarang tidak menyia-nyiakan perjuangan mereka maupun anak-anakku sebelum mereka. Aku begitu bangga pada mereka. Anak-anak terbaik yang pernah kulahirkan. Mungkin aku terdengar pilih kasih, tapi bukankah itu setimpal?”

“Apa aku bisa membanggakanmu, Bu?”

“Kau harus menjawab pertanyaanmu itu sendiri, Bestari. Kau masih punya banyak waktu. Tentukanlah pilihanmu.”

“Lalu apa yang harus kukatakan lagi pada dunia tentangmu? Kau sama sekali tidak memberiku petunjuk.”

“Hahahaha..” Pertiwi tertawa renyah. “Bagaimana kalau kau memulainya dengan berbicara pada saudara-saudaramu dulu? Lalu ketika mereka tidak lagi serakah, tidak lagi egois, maka mungkin kau tak perlu bicara pada dunia mengenaiku karena dunialah yang akan melihat kita dengan sendirinya. Karena aku akan harum kembali tetapi bukan oleh darah kalian.

“Nah, sudah larut, Bestari. Sebaiknya kau tidur agar tak kesiangan sahur nanti.”


“Apa kau muncul setiap 17 agustus, Bu?”

“Tidak juga.”

“Apa kita bisa mengobrol seperti ini lagi?”

“Seperti yang kubilang, aku hanya akan bicara pada yang mau mendengar. Selamat tidur, Sayang. Mimpilah yang indah.”

“Bu?”

Tak ada jawaban.

“Bu?”

Sial, dia sudah pergi.

Suatu saat, aku harus berbicara padanya lagi. Karena masih banyak yang belum kumengerti. Yang harus kulakukan hanya tinggal mendengar. Ya, aku akan mendengarmu, Bu. Dan kuharap yang kudengar adalah nyanyian bukan tangisan.

Monday, August 23, 2010

Aku Melihat Dunia

Aku merindukan saat-saat dimana aku masih memiliki perasaan cemas saat harus membuang isi steples sehabis digunakan untuk merekatkan plastic pembungkus makanan karena takut isi steples itu akan melukai tukang sampah yang membersihkannya.

Aku merindukan saat aku masih memiliki keinginan untuk merengek-rengek pada ibuku agar ia terus memakai daster hamilnya saat mengandung adikku karena ia terlihat begitu cantik saat memakainya di mataku

Aku merindukan saat aku masih berpikir bahwa di bulan tinggal seorang ibu yang sedang meyusui anaknya karena memang begitu kelihatannya oleh penglihatanku waktu itu. Bukan permukaannya yang bopeng-bopeng akibat asteroid-asteroid yang menabrak seperti yang akhirnya kulihat di televisi.

Aku merindukan saat aku masih berpikir bahwa langit itu seperti puding yang padat namun lembut dan awan seperti sebuah kasur empuk dan bukannya hanya uap air yang bergumul.

Aku merindukan saat-saat dimana setiap aku mendengar kata ‘tergantung’ yang malah ada di benakku justru gantungan baju yang biasa dipakai ibuku untuk menjemur pakaian.

Aku merindukan saat-saat dimana satu-satunya masalah terbesarku adalah bagaimana aku bisa menikmati pempek gopek-an atau es potong yang dicelup ke coklat cair tanpa harus ketahuan ibuku.

Atau bagaimana supaya akhirnya aku punya alasan untuk membolos mengaji di Engkong dekat rumahku karena aku begitu penasaran dengan terusan cerita komik Donal Bebek yang baru dibelikan ayahku.

Aku merindukan saat aku masih berpikir bahwa surga benar-benar berada di telapak kaki ibuku sehingga aku begitu cerewet mengingatkan beliau untuk selalu memakai sandal karena takut larva cacing tambang masuk lewat telapak kaki telanjangnya dan mengobrak-abrik surgaku.

Aku merindukan saat aku masih percaya bahwa semua orang pasti akan menolongku setiap aku berada dalam kesulitan. Percaya bahwa semua orang menyayangiku. Percaya bahwa mata semua orang tertuju padaku.

Kepolosan, antusias yang begitu tinggi, kepedulian, ketidaktahuan, keingintahuan, keyakinan, kenaifan dan harapan dari seorang gadis kecil berlabel Restu Diantina Putri.

Rambut sebahu yang hitam kelam dan tebal warisan dari ibunya, dengan rok merah SD yang terlalu pendek dan akhirnya justru balapan dengan celana ketatnya, dan tas dorong Mickey Mouse yang jadi terlihat begitu besar karena digendong oleh tubuh kecilnya. Aku rindu sosok itu.

Aku memang rindu. Tapi hanya sebatas itu. Selain ketidaktahuan yang selalu meningkat setiap aku justru mendapat pengetahuan baru, kesemua sifat itu sepertinya sudah memudar.

Warna-warna cerah dan hangat dalam lukisan kehidupanku waktu itu, bergradasi menjadi warna-warna kelam. Bahkan hampir hanya hitam, putih dan abu-abu.

Bukan pula aku ingin kembali. Memang sederhana tapi yang kulihat waktu itu adalah dunia yang begitu kecil. Dan sekarang aku meng-zoom out penglihatanku pada dunia yang sedikit lebih besar. Dan ternyata warna yang ada tidak hanya sekedar keduabelas atau ketigapuluh enam warna yang ada di kotak krayon KIKO-ku dulu.

Jatuh di selaput iris mataku dan membawanya ke retina, aku begitu terpesona dengan jutaan warna baru yang memperbesar pupil mataku.