Friday, November 26, 2010

Curhatan Gak Penting...

Heeyyy...wat r u doin now, Restu Diantina Putri?

Lagi ngapain sih lo ? Ngeboongin diri sendiri ?

Come on! Jujurlah sama dia!!! Ngomong!!

Lo punya mulut, girl !!

Lo ga capek apa terus-terusan jadi orang munafik gini?? Yang ada lo tuh cuma nyakitin diri lo sendiri dan orang lain which is love you so much !!!

Aaarrrggghhhh...manusia bego lo !! Bego banget !!!



PS: Sumpah...ga asik banget ni post !! :'(

Thursday, November 18, 2010

Ruang Palsu

Terjebak dalam sebuah ruang palsu. Penyelamatnya hanya sang waktu. Jadi, maukah kau bersahabat denganku, wahai Tuan Waktu?


Aku sedang berada pada sebuah ruang. Dari luar, ia terlihat begitu apik. Aku pun tergoda untuk memasukinya. Tanpa tahu apapun mengenai apa yang ada di dalamnya. Yang kudengar, orang-orang yang berada di dalam ruang itu adalah orang-orang hebat. Terlebih lagi ada pemilik raga yang amat kucintai di sana. Kupikir walau tak mengenal orang-orang itu, toh aku bisa mengenalinya nanti jika aku sudah berada di dalam.

Aku masuk tanpa payah. Mulai menjalani dan mencoba menikmati tiap irama ruang itu. Terantuk-antuk kuikuti langkah mereka. Kucoba bias dengan mereka. Namun seiring kala, nada-nadanya mulai terdengar sumbang olehku. Sajak-sajaknya mulai tak kumengerti. Aku tak bisa mengikuti harmoninya. Aku merasa asing.

Aku memutuskan bertahan. “Masalah adaptasi,” kucoba menghibur diri. Namun setelah agak lama, aku akhirnya mengerti. Aku ini setetes minyak di tengah sekulah air. Sekeras apapun ku mencoba melebur, dengan umbar tawa palsu sana-sini, berharap akan menjadi air pada akhirnya, aku tetap minyak di sana. Menggenang sendiri, mencolok tapi tak dipedulikan, bahkan mengganggu.

Pada satu titik, aku benar-benar merasa tak ada alasan lagi untuk bertahan. Ketika mereka berforum dan aku mau tak mau ikut demi alasan profesonalisme, aku sampai dalam suatu visualisasi imajiku. Ruangan itu penuh warna, begitu pun mereka. Dan aku hanya hitam putih. Duduk diam gelisahtersenyum sesekali mengisyaratkan ‘hey, aku mau diterima’menelan bulat-bulat segala penolakan itu.

Tepat sebelum aku membuka pintu ruang itu dengan segala kemantapan, seorang gadis yang baru masuk dan masih ‘hijau’ dengan ruang itu, menggamit lenganku, praktis derapku terhenti. “Kak, mohon bimbingannya ya selama aku di sini.” Aku tertegun. Sekejap dua kejap. Anak bau kencur itu, tak tahu apa aku sudah bersiap melarikan diri dari ruang bangsat ini?

Kulepas senyum asli perdanaku sejak terperangkap sekian miliar detik di tempat engap itu. Kuacak rambutnya lembut. “ Ya, pasti,” kataku sambil membuka pintu sacral yang akan membawaku kembali pada tawa dan senyumku yang murni.

Friday, October 15, 2010

I'M TRAPPED !!!!!

Lo pernah ngerasa stuck ?? Terjebak ??

Yes, i'm trapped !!

Terjebak oleh rutinitas yang itu-itu aja. Kuliah, tugas-tugas, ngurusin UKM, ngumpul ama temen-temen gw di kampus, pacaran.

Ups, buat yang terakhir itu, gw anulir deh.

Btw, Restu Diantina Putri officially is in a relationship !! Hehehe...tapi tar aja ceritanya yaaa..

Gw ga kemana-mana. Tiap hari kerjaannya cuma bolak-balik kampus doank. Kalo gak numpang baca di gramedia.

Ihh..jijaaayy banget ga sih lo dunia gw segitu-gitu doank ??

I HAVE TO GO !!!!!!!!! Ga tau kemana !! Tapi yang jelas gw mesti pergi. Ngeliat belahan dunia yang lain. Ngeliat hal-hal baru.

Bukannya gw muak dengan dunia gw sekarang, tapi gw ga akan berkembang kalo gw hanya berputar-putar di satu titik dan ga kemana-mana.

Zona aman. Dan gw mesti ninggalin zona itu.

Damn !! Damn !!!!

Saturday, August 28, 2010

The Conversation

Selasa, 17 Agustus 2010
21:00 WIB

Aku beranjak meninggalkan TV yang masih menyala dan masih terus menyiarkan sebuah acara pergelaran music bertemakan hari kemerdekaan. Memang hari ini tepat 65 tahun sudah negeri cantik ini terbebas dari penjajahan kaum-kaum imperialis. Tiga ratus lima puluh tahun dari bangsa pembuat dam dan tiga setengah tahun dari bangsa pemakai kimono. Ras yang berbeda memang. Satunya kaukasoid, yang lain mongoloid. Namun kekejamannya sama saja.

Yah, nostalgia. Nostalgia yang ironis.

Tapi bukan itu yang mengusikku. Bergeming aku meilhat performa para pengisi acara tadi silih berganti menyanyikan karya anak bangsa. Masterpiece yang mengagungkan keindahan negeri khatulistiwa tak henti-hentinya tersaji seolah mendesakku untuk berimpresi yang indah-indah.

Lagu, tarian, serenade, music, syair. Semua tentang tanah air ini. Dari tanah air ini. Oleh tanah air ini. Dan untuk tanah air ini.

Setiap inci tanahnya, setiap tetes airnya, setiap ragam budayanya, setiap helai pakaian adatnya, setiap senyum orang-orangnya. Semua sudah diungkap.

Kuhempas tubuhku pada kursi rotan tua yang berada di teras rumahku. Malam ini cukup hening untuk sebuah malam tujuhbelasan. Sepuluh tahun yang lalu, sorak sorai penduduk masih gemuruh terdengar setidaknya sampai tengah malam. Hingar binger dari panggung dangdutan, penduduk yang asyik lomba karaoke. Dan sekarang semuanya itu hanya sebuah dulu.

“Ada yang mengusik hatimu, Bestari?”

Hah. Siapa itu? Suara perempuan. Tapi ibuku jelas-jelas sudah tidur.

“Siapa itu?”

“Aku? Aku ya aku.”

‘Aku pasti sedang berhalusinasi.’

“Kau tidak sedang berhalusinasi, Sayang?”

“Kau…bisa baca pikiranku?”

“Anggap saja aku mengerti benar tentang anak-anakku.”

“Anak? Siapa kau? Dimana kau? Aku bahkan tidak melihatmu. Apa kau hantu?”

“Hahahahaha...kau menyebutku hantu? Benar-benar durhaka. Kau tidak mengenaliku, Sayang?

“Sinting!!!” Aku bergegas meninggalkan teras.

“Ini aku…Pertiwi. Kalian biasa memanggilku Ibu Pertiwi.”

Langkahku terhenti demi mendengar kata-kata barusan. “Duduklah, Bestari! Temani aku.”

Aku duduk. “Kau..benar-benar Ibu Pertiwi?”

“Kau pun takkan rugi kalau aku bukan Ibu Pertiwi. Nah, apa yang meresahkanmu?”

Aku membisu sangsi.

“Kau masih tidak percaya, ya?” Ia berdecak sesaat. “Aku melihatmu sepertinya sedang resah. Dan aku pun sudah lama tak bercakap-cakap dengan anak-anakku makanya aku memutuskan berbicara denganmu.”

“Aku tidak tahu kalau Ibu Pertiwi bisa bicara.”

“Aku hanya bicara pada yang mau mendengar. Dan aku tahu, kau juga mau berbicara padaku sebenarnya.”

‘Ugh, sok tahu.’

“Tidak baik berbicara seperti itu pada ibumu.”

“Nah, kau sendiri bisa membaca pikiranku.”

“Aku tahu semuanya. Semuanya yang terjadi pada anak-anakku. Semua yang dipikirkan
anak-anakku.”


“Apa kau menganggap dirimu tuhan?”

“Hahahaha..tentu saja tidak, Sayang. Tuhan yang menciptakanku. Aku sama saja sepertimu. Aku tentu saja tahu semua yang terjadi padaku. Sama seperti kau tahu semua yang terjadi padamu. Karena kau itu aku. Kau ada pada diriku.”

“Aku tak mengerti.”

“Hmm…aku adalah negeri ini. Indonesia. Aku tanah yang sedang kau injak. Aku pohon mangga yang ada di depan rumahmu. Aku kursi rotan yang sedang kau duduki.”

“Berarti kau sama seperti tuhan.”

“Tidak, Sayang. Aku tahu kau karena kau bagian dari diriku.”

‘Sumpah, aku bingung.’

“Tak ada yang perlu dibingungkan, Bestari sayang. Nah, kau bisa katakan padaku
kenapa kau melamun. Ada yang meresahkanmu?”


“Tidak. Aku…hanya bingung….” Kunaikkan kedua kakikku lalu memeluknya. Kuputuskan untuk berbicara saja dengannya. Toh tak ada ruginya pula.

“…aku bingung, apa yang sudah kulakukan untuk negeri ini? Aku belum melakukan apa-apa. Mereka sudah mengekspos negeri ini sedemikian rupa. Lalu, peranku bagaimana? Apalagi yang mesti kuberitahukan pada dunia tentang negeriku? Semuanya sudah dilakukan oleh mereka.”

Pertiwi tak menjawab.

“Maaf, Bu. Aku tak berguna.”

“Tidak begitu, Anakku.”

“Lalu aku harus bagaimana? Apa yang mesti kusampaikan tentangmu?”

“Hmmm...coba kita lihat. Mungkin kau bisa mengatakan kalau ibukota kita bukan Bali,
tapi Jakarta,”
gurau Pertiwi tapi nada bijaknya tak juga hilang.

“Tak lucu, Bu. “

“Ups, maaf. Hmmm…masih banyak hal tentang diriku yang belum diketahui oleh kalian sebenarnya.”

“Oh ya? Apa saja?” Aku mulai antusias.

“Hohoho...kau harus menjawabnya sendiri, Sayang.”

“Huh.”

“Kau bisa mengatakan tentang saudara-saudaramu.”

“Saudara-saudara yang mana? Yang mereka tahu itu kita adalah negara koruptur, Bu. Aku kecewa sekali dengan saudara-saudaraku itu. Mana bisa aku bercerita tentang mereka.”

“Yaaahhh…,” ia mendesah panjang. “Anak-anakku yang itu, mereka masih belum dewasa memang. Tapi kau terlalu jauh berpikirnya, Sayang. Menurutmu apa yang sedang terjadi pada kita?”

“Kita…dijajah kembali.”

“Aha. Oleh siapa?”

“Oleh kapitalis-kapitalis keparat yang membuat kami menjadi para hedonis. Yang membuat kami seperti orang tolol karena disuguhi sajian mereka yang memanjakan nafsu dan memenjarakan otak.”

“Bagaimana kalau kubilang, kita yang sedang menjajah diri kita sendiri?”

“Maksudmu?”

“Egoisme. Individualisme. Sekarang, paham-paham itulah yang menjerat anak-anakku. Kalian asyik memikirkan diri kalian sendiri. Bukan hanya dalam masalah materi tapi juga waktu. Kalian asyik saja mengekpolitasi kekayaan alamku. Memang masih banyak. Sekarang. Tapi bagaimana dengan nanti? Bagaimana dengan adik-adik kalian yang akan lahir menggantikan kalian setelah kalian membusuk di dalam tanah nanti? Bagaimana dengan anak-anak dan cucu-cucu kalian? Pernahkah kalian berpikir sampai kesana? Pernah, Bestari?” Nada Pertiwi meninggi. Nafasnya terengah-engah.

Aku menggeleng lemah. “Aku…”

“Kalian tidak tahu, kan, saat saudara-saudaramu yang culas itu menggunduli hutan-hutan Kalimantan, aku menjerit kesakitan. Aku menangis. Dan tak ada yang mendengar. Tak satu pun dari kalian mendengar.

“Dan kau tahu, Bestari? Saat tetangga kita mencuri pulau kita, pulau-pualu yang tak diurus oleh saudara-saudaramu itu, sebenarnya mereka telah meminta izin padaku. Tapi apa yang kubilang? Kubilang,
‘ambil saja, Tuan. Anak-anakku tak memerlukannya. Silakan, kuberi secara Cuma-Cuma!’

“Tapi saat kalian tahu, kalian begitu kelojotan seolah-olah punya hak untuk itu. Seolah kalian telah begitu baik merawatnya.

“Tuhan sudah memberiku harta yang bergelimangan untuk menghidupi anak-anakku. Tapi sebagian dari kalian terlalu serakah. Sebagaian lagi terlalu lemah. Kekayaanku seolah kurang mencukupi untuk kalian. Padahal awalnya kita keluarga terkaya di muka bumi ini. Dan karena keserakahan saudara-saudaramu, kita jatuh miskin. Kau tahu miskin apa, Bestari? Miskin kesadaran!! Miskin…”

“Kalau kau tahu semuanya kenapa tidak kau cegah??” Potongku dengan nada tak kalah tinggi.

“Aku tahu apa yang terjadi, bukan apa yang akan terjadi!”

“Kau bisa menghentikan mereka!”

“Aku tidak seperti ibu-ibu pada umumnya. Aku tak bisa menghukum anak-anakku jika mereka berbuat tidak baik. Apa yang kulakukan adalah kehendak Tuhan. Tuhan yang menggerakkanku. Aku hanya bisa menangis. Menangisi kalian yang menyakitiku.

“Tak apa aku disakiti. Tapi aku mencemaskan kalian. Cemas kalian akan mendapat murka-Nya, “
suaranya bergetar hebat. Lalu perlahan mengendur, “maaf, aku sudah berteriak padamu, Sayang.”

Aku menggeleng kuat-kuat. “Seharusnya aku yang meminta maaf, Bu.”

“Tapi tadi kau bilang, bagaimana kalau aku bercerita tentang saudara-saudaraku.”

“Maksudku, saudara-saudaramu yang lain. Masih banyak saudara-saudaramu yang aku banggakan. Yang masih memegang nilai-nilai luhur keluarga kita. Yang masih berbakti padaku. Kau bisa memulainya dengan yang ada di sekitarmu. Ceritakan saja tentang mereka. ”

Lama kami sama-sama meneriakkan kesunyian. Pertiwi terdengar gelisah dalam heningnya.

“Kau bilang tadi individualism. Bukankah banyak negara lain yang individualis tapi malah menjadi negara maju?” Aku tak tahan untuk tidak bertanya.

“Itu keegoisan kolektif. Mereka egois terhadap dunia. Mereka tahu kalau mereka egois satu sama lain akan menyebabkan kehancuran. Dan mereka menutupi kesadaran itu dengan keangkuhan sehingga tak dapat dilihat oleh kita yang berkiblat kepada mereka. Kita mengira kalau dengan individualism mereka kita bisa menjadi negara maju seperti mereka. Cerdik memang, harus kita akui.”

“Aneh. Bukankah kita punya pancasila, Bu? Bukankah sudah begitu ideal?”

“Hahahaha…pancasila. Pancasila itu buatan manusia, Sayang. Dan ketahuilah, tak ada ciptaan manusia yang sempurna.”

“Jadi menurutmu pancasila tidak benar?”

“Hmmm..tidak juga. Pancasila mungkin memang baik. Tapi sekali lagi itu buatan manusia. Tidak bisa dijadikan pedoman dalam setiap urusan. Begitu pula dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya. Semua bisa diputarbalikkan karena masih terdapat celah. Yang sempurna itu datang dari Tuhan. Maka kembalilah pada kitab-Nya. Kalau saudara-saudaramu mengingat akan hal ini, tentunya tak ada lagi anakku yang bunuh diri karena terlilit hutang 20ribu atau tak bisa melanjutkan sekolah.”

“……”

“Kenapa diam, Anakku?”

“Apa kau merasakan malam ini terlalu hening untuk sebuah malam tujuhbelasan?”

“Yah...kuakui memang agak sedikit lebih sepi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Padahal baru 65 tahun merdeka. Tapi seperti sudah berabad-abad merdeka sampai-sampai tak lagi peduli.”

“Apa karena ini ramadhan, Bu?”

“Hmmm…aku ingin mendengar teorimu.”

“Enam puluh lima tahun yang lalu, bukannya para pemuda yang membawa Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok pun dalam keadaan berpuasa? Sayuti Melik mengetik naskah proklamasi pada saat menjelang sahur, kan? Soekarno yang membacakan teks proklamasi, rakyat Indonesia yang berkumpul di jalan Pegangsaan itu juga tengah menahan lapar dan haus.”

“Kau memang bestari.”

“Aku memang Bestari.”

“Maksudku, kau cerdas. Persis seperti namamu. Bestari artinya cerdas, Sayang. Ibumu tak memberi tahumukah?”

“Pernah. Tapi kakek yang memberitahuku.”

“Yah..Enam puluh lima tahun lalu keadaannya memang sama seperti ini. Mereka yang tengah menjalankan rukun islam yang ketiga itu masih tetap berjuang demi negeri ini. Aku yang dipijak oleh mereka merasakan semangat yang begitu menderu menjalar pada setiap inci tubuhku waktu itu. Tubuhku ini dialiri oleh darah mereka yang tertumpah sewaktu membelaku. Kau tahu, darah mereka begitu harum. Sampai-sampai banyak negeri lain yang memuji wangi tubuhku.

Pori-poriku terbuka lebar pasca kata-kata tadi meluncur dari suara yang menenangkan itu.

“Aku benar-benar berharap, Bestari, anak-anakku sekarang tidak menyia-nyiakan perjuangan mereka maupun anak-anakku sebelum mereka. Aku begitu bangga pada mereka. Anak-anak terbaik yang pernah kulahirkan. Mungkin aku terdengar pilih kasih, tapi bukankah itu setimpal?”

“Apa aku bisa membanggakanmu, Bu?”

“Kau harus menjawab pertanyaanmu itu sendiri, Bestari. Kau masih punya banyak waktu. Tentukanlah pilihanmu.”

“Lalu apa yang harus kukatakan lagi pada dunia tentangmu? Kau sama sekali tidak memberiku petunjuk.”

“Hahahaha..” Pertiwi tertawa renyah. “Bagaimana kalau kau memulainya dengan berbicara pada saudara-saudaramu dulu? Lalu ketika mereka tidak lagi serakah, tidak lagi egois, maka mungkin kau tak perlu bicara pada dunia mengenaiku karena dunialah yang akan melihat kita dengan sendirinya. Karena aku akan harum kembali tetapi bukan oleh darah kalian.

“Nah, sudah larut, Bestari. Sebaiknya kau tidur agar tak kesiangan sahur nanti.”


“Apa kau muncul setiap 17 agustus, Bu?”

“Tidak juga.”

“Apa kita bisa mengobrol seperti ini lagi?”

“Seperti yang kubilang, aku hanya akan bicara pada yang mau mendengar. Selamat tidur, Sayang. Mimpilah yang indah.”

“Bu?”

Tak ada jawaban.

“Bu?”

Sial, dia sudah pergi.

Suatu saat, aku harus berbicara padanya lagi. Karena masih banyak yang belum kumengerti. Yang harus kulakukan hanya tinggal mendengar. Ya, aku akan mendengarmu, Bu. Dan kuharap yang kudengar adalah nyanyian bukan tangisan.

Monday, August 23, 2010

Aku Melihat Dunia

Aku merindukan saat-saat dimana aku masih memiliki perasaan cemas saat harus membuang isi steples sehabis digunakan untuk merekatkan plastic pembungkus makanan karena takut isi steples itu akan melukai tukang sampah yang membersihkannya.

Aku merindukan saat aku masih memiliki keinginan untuk merengek-rengek pada ibuku agar ia terus memakai daster hamilnya saat mengandung adikku karena ia terlihat begitu cantik saat memakainya di mataku

Aku merindukan saat aku masih berpikir bahwa di bulan tinggal seorang ibu yang sedang meyusui anaknya karena memang begitu kelihatannya oleh penglihatanku waktu itu. Bukan permukaannya yang bopeng-bopeng akibat asteroid-asteroid yang menabrak seperti yang akhirnya kulihat di televisi.

Aku merindukan saat aku masih berpikir bahwa langit itu seperti puding yang padat namun lembut dan awan seperti sebuah kasur empuk dan bukannya hanya uap air yang bergumul.

Aku merindukan saat-saat dimana setiap aku mendengar kata ‘tergantung’ yang malah ada di benakku justru gantungan baju yang biasa dipakai ibuku untuk menjemur pakaian.

Aku merindukan saat-saat dimana satu-satunya masalah terbesarku adalah bagaimana aku bisa menikmati pempek gopek-an atau es potong yang dicelup ke coklat cair tanpa harus ketahuan ibuku.

Atau bagaimana supaya akhirnya aku punya alasan untuk membolos mengaji di Engkong dekat rumahku karena aku begitu penasaran dengan terusan cerita komik Donal Bebek yang baru dibelikan ayahku.

Aku merindukan saat aku masih berpikir bahwa surga benar-benar berada di telapak kaki ibuku sehingga aku begitu cerewet mengingatkan beliau untuk selalu memakai sandal karena takut larva cacing tambang masuk lewat telapak kaki telanjangnya dan mengobrak-abrik surgaku.

Aku merindukan saat aku masih percaya bahwa semua orang pasti akan menolongku setiap aku berada dalam kesulitan. Percaya bahwa semua orang menyayangiku. Percaya bahwa mata semua orang tertuju padaku.

Kepolosan, antusias yang begitu tinggi, kepedulian, ketidaktahuan, keingintahuan, keyakinan, kenaifan dan harapan dari seorang gadis kecil berlabel Restu Diantina Putri.

Rambut sebahu yang hitam kelam dan tebal warisan dari ibunya, dengan rok merah SD yang terlalu pendek dan akhirnya justru balapan dengan celana ketatnya, dan tas dorong Mickey Mouse yang jadi terlihat begitu besar karena digendong oleh tubuh kecilnya. Aku rindu sosok itu.

Aku memang rindu. Tapi hanya sebatas itu. Selain ketidaktahuan yang selalu meningkat setiap aku justru mendapat pengetahuan baru, kesemua sifat itu sepertinya sudah memudar.

Warna-warna cerah dan hangat dalam lukisan kehidupanku waktu itu, bergradasi menjadi warna-warna kelam. Bahkan hampir hanya hitam, putih dan abu-abu.

Bukan pula aku ingin kembali. Memang sederhana tapi yang kulihat waktu itu adalah dunia yang begitu kecil. Dan sekarang aku meng-zoom out penglihatanku pada dunia yang sedikit lebih besar. Dan ternyata warna yang ada tidak hanya sekedar keduabelas atau ketigapuluh enam warna yang ada di kotak krayon KIKO-ku dulu.

Jatuh di selaput iris mataku dan membawanya ke retina, aku begitu terpesona dengan jutaan warna baru yang memperbesar pupil mataku.

Monday, July 12, 2010

Untukmu yang bodoh karena mencintaiku....

Aku bukan pandai menguntai cinta dengan kata layaknya Gibran.
Tapi aku menulis ini hanya karena ingin kau tahu, perasaan hatiku.
Perasaan hatiku ketika kita terjebak dalam sebuah ruang, waktu, dan perasaan yang tidak tepat, bahkan mungkin salah.

Aku tak berbicara cinta, karena setiap ingin ku mengurainya dengan deretan alfabeta, penaku menjadi kelu. Nada yang kuuntai di sini hanya sebuah simfoni perasaan seorang pendosa.

Untukmu yang bodoh karena mencintaiku, bacalah ini...

Dan ketika seluruh dunia berada di hadapanku
Bersiap mengeksekusi hatiku
Aku di sana, sendirian
Dengan kepala mendongak sombong
Gemetar oleh keringat yang setiap tetesnya terdapat dosa
Dosa-dosa yang menjijikan
Aku tak lebih dari abu sisa hasil pembakaran semangat yang semu
Gemuruh orasi mereka bernyanyi sumbang di kepala congkakku

KAU TIDAK BERHAK BAHAGIA !!!!
Atau
KAU MENJIJIKAN !!!!!!!
Atau
KAU JALANG YANG TAK DIBAYAR !!!!

Ya...itu aku ! Semuanya benar...


Kutulis rangkaian huruf tadi dengan sisa-sisa jiwa yang hampir terenggut oleh sakit. Kutulis ketika kau dan aku masih membangun sebuah kepahitan, kesalahan yang nikmat.

Tahukah kau apa yang telah kau lakukan ?
Sebongkah hati yang hampir mengeras kau lelehkan dan ingin kau lebur dengan hatimu. Namun, karena tak bisa, katarsis kau hancurkan sampai menjadi kepingan.

Dengan tulisan ini, kuharap kau atau pun mereka mengerti kalau bukan hanya kalian yang memiliki perasaan, waktu itu.
Bukan pula kalian yang benar waktu itu.
Dan sampai tulisan ini kupatri bersamaan dengan luka, untukmu yang bodoh karena mencintaiku, aku mencintaimu. Aku yang ternyata jauh lebih bodoh karena mencintaimu.


-Sang Kurma Yang Hampir Layu-

Thursday, June 17, 2010

LUKISAN MATAHARI

Ditemani Bibi Awan, Gadis Es kini tengah asyik dengan kanvas dan kuasnya di padang tempat ia dan Keping Salju biasa bertemu.
“Kau melukis apa, Sayang?” Tanya Bibi Awan.
“Hanya melukis pemandangan. Kau bisa bergeser sedikit, Bibi? Agar aku tak terlalu silau. Hari ini panas sekali.”
“Tentu, Sayang.” Dan tak lama Bibi Awan tepat berada di atasnya.
“Terima kasih, Bi.”
“Omong-omong, aku suka nama barumu. Kurasa cocok. Pe-la-ngi. Mataharikah?”
Gadis Es hanya menjawab dengan senyum kecil.
“Kau bahagia dengannya? Ah..tak perlu kutanyakan itu. Terlihat jelas di wajahmu.”

“Benarkah?” Sedikit rona merah muncul di kedua pipinya yang bulat.
“Entahlah, Bibi. Ia bilang ia menyayangiku. Tapi jika mengingat fakta bahwa…ah…kebahagiaan itu rasanya langsung lenyap begitu saja,” tangan kanannya yang menggenggam kuas terkulai ke samping.
“Ia memang menyayangimu, Sayang. Sangat menyayangimu. Dia hanya butuh waktu,” kata Bibi Awan bijak.
Gadis Es kini hanya menatap kosong kanvas di depannya yang baru terisi dominasi warna hijau, biru dan pink padang tersebut.
Ingatannya menari pada saat ia dan Keping Salju pergi ke menara Ascent─menara tertinggi di kota Lovi─beberapa waktu lalu.

“Aku belum pernah kesini. Kata orang-orang pemandangannya sangat bagus. Kau pernah kesini, Matahari?”

Tak ada jawaban. “Matahari?” Ulang Gadis Es sambil menengok Keping Salju. Yang ditatap malah menatap kosong ke luar menara. “Bau asin,” katanya. Gadis Es tak mengerti dan hanya menunggu perkataan berikutnya keluar dari bibir pria itu.

“Laut. Pelangi, lihatlah!” Seru Keping Salju menunjuk dengan dagunya. Dan benar saja. Ketika Gadis Es menoleh, laut biru dengan pasir putih pantainya terhampar megah di depan mereka.
Dari tempat mereka berdiri sekarang memang dapat melihat pantai yang terletak di ujung utara pulau tempat mereka tinggal. Bau asin tercium samar di cuping hidung mereka.

“Aku suka laut,” kata Gadis Es. “Kesannya bebas.” Gadis Es mengendus-endus udara sambil memejamkan matanya. Keping Salju hanya menatap Gadis Es. Ia lalu meraih tangan kanan Gadis Es dengan tangan kirinya dan menariknya mendekat ke tubuhnya.

“Tetaplah bersamaku, Pelangi,” bisiknya pelan. Yang digenggam tangannya hanya terbengong. Hatinya kebat-kebit. Dari pipinya keluar rona merah muda akibat darah yang mengalir deras ke kepalanya. Saat itu, Gadis Es tahu. Ia jatuh cinta.


“Bagaimana dengan kekasihnya?” Bibi Awan merontokkan lamunannya. Gadis Es menggeleng lemah. “Nona Lobak…”

“Namanya Lady Vori, Sayang. Kenapa kau menyebutnya begitu?” Potong Bibi Awan cepat.

“Habis, hanya lobak yang terlintas di benakku saat melihatnya. Maksudku, Lady Vori sangat cantik. Dia penyanyi terkenal dan sering mondar-mandir ke istana. Aku hanya pelukis biasa. Sesekali mengamen dengan biolaku. Aku tak ada apa-apanya. Mungkin mereka memang cocok satu sama lain.”

“Hai." Yang dibicarakan langsung muncul. Keping Salju datang dengan penampilan yang lebih rapi dari biasanya. Hanya saja yang terlihat sekarang hanya sisa-sisa dari kerapian tersebut. Kancing jas hitamnya dibuka dan lengannya digulung sebatas siku, dasinya direnggangkan sampai dada, tiga kancing atas kemejanya sudah tidak terkait satu sama lain, memamerkan dadanya yang bidang. Rambutnya sengaja ia buat berantakan. Seperti habis menghadiri sebuah pesta atau setidaknya sebuah acara resmi. “Sedang apa kau?”

“Melukis,” jawab Gadis Es pendek sambil memerhatikan penampilan Keping Salju. Bingung. “Darimana?”

“Hah? Oh…ada acara sebentar tadi. Sebenarnya belum selesai tapi aku bosan. Kedatanganku menganggumu?” Keping Salju melirik ke arah kanvas.

“Tidak juga. Tunggulah di sana,” Gadis Es menunjuk tempat persis sebelah barat laut dari kanvasnya. “Mungkin sebentar lagi.”
Keping Salju beranjak pelan. Sekarang ia membelakangi Gadis Es.
Keping Salju berada dalam pandangannya. Tangan kanannya pun mulai bergerak cepat sambil sesekali melihat ke arah Pangeran Mataharinya. Sedangkan tangan kirinya menggenggam erat palet yang telah bersimbah berbagai warna cat.
Beruntung, Keping Salju bergeming dan tak menyadari yang dilakukan Gadis Es. Lama keduanya meneriakkan kesunyian.

“Emm…aku bisa saja mengetahuinya dari orang lain. Tapi aku ingin mendengarnya dari mulutmu sendiri.” Gadis Es akhirnya memecah kesunyian yang sedari tadi membungkus ruang di antara mereka sambil terus melukis. Keping Salju mau tak mau menoleh. “Maksudmu?”

“Maksudku…aku ingin tahu siapa kekasihmu,” matanya tak beranjak dari kanvasnya.

“Pentingkah?”

Gadis Es hanya menatapnya tajam.

“Baiklah…” Keping Salju mengusap wajahnya sendiri yang sedikit berpeluh. “Kekasihku…,” ia mendesah panjang. Seolah kata-kata yang akan ia keluarkan berikutnya memiliki bobot beribu-ribu ton. “…Lady Vori. Kau kenal, kan? Kurasa ia juga mengenalmu. Dia hapal semua seniman desa ini.” Ia mengatakannya sambil memalingkan muka.

Gadis Es terpaku sesaat. Ada rasa aneh yang meyusupi sudut hatinya. Ia sudah tahu dari dulu perihal ini. Tapi kenapa baru ia rasakan kesedihan yang sedemikian menyengat sekarang? Apa mungkin karena ia mendengarnya langsung keluar dari bibir Keping Salju sendiri? Matanya mulai panas. Buru-buru ia menghapus dua titik bening yang hampir meluap itu dengan lengannya sebelum terlihat Keping Salju.

Keping Salju masih menatap lurus ke arah desa. Tangannya dimasukkan ke dalam saku.
Dengan menambahkan sedikit sapuan kuas lagi, Gadis Es menyelesaikan pekerjaannya.
“Nah, selesai! Mau lihat?”

Perlahan Gadis Es memutar kanvasnya. Keping Salju tertegun saat melihat hasil lukisan itu. “Kau...melukisku, Pelangi?”

Dalam lukisan itu, terlihat jelas Keping Salju yang sedang melamun menatap ke arah desa.
Tangannya tenggelam di saku celananya.
Sedikit pemandangan padang yang didominasi warna hijau rumput dan merah muda bunga serta pemandangan yang ditatap Keping Salju─deretan rumah yang berjejer rapi di bawah mereka, lengkap dengan langit biru cerah dengan gumpalan-gumpalan colomunimbus tanpa matahari.
Gadis Es menambahkannya dengan efek angin yang memainkan rambut dan dasi Keping Salju.
Keping Salju sendiri terletak di sisi kiri lukisan.
Lukisan itu begitu hidup.
Walaupun terlihat melamun tetapi mata Keping Salju pada lukisan itu dibuat Gadis Es menjadi begitu berbicara.
Yang tak Gadis Es ketahui adalah bahwa lukisan tersebut persis menggambarkan apa yang Keping Salju rasakan saat itu.
Matanya memang sedang berbicara. Bahkan berteriak. Keping Salju takjub. Putri Pelanginya mampu menangkap siratan matanya itu.
Gadis Es menyebut lukisannya,Nus Avela Vi─Mata Matahari.

“Ya.” Gadis Es tersenyum manis sekali. Senyum yang telah lama tak tercetak pada wajah mungilnya.

Saturday, April 10, 2010

Tentang Dia

Ceritaku masih tentang dia. Masih selalu dia. Dan akan terus tentang dia. Karena hati ini, hati yang sudah porak-poranda ini, walaupun telah menjadi puing, kesemua puingnya adalah miliknya.

Selama benda itu masih melingkar manis di leherku, aku tak ingin melupakannya. Walau ia keji. Walau ia bodoh setengah mati. Tapi ia bilang ia rindu setengah mati.

Dia yang menerimaku apa adanya. Dia yang membuatku sanggup tersenyum walau telah menelan sejumlah kepahitan. Menjadi diri sendiri di depannya. Tanpa topeng. Tanpa poker face. Senyumku terpahat asli untuknya.

Melihat matahari yang bersinar terang, melihat pelangi yang melengkung sempurna, melihat bintang yang cantik, melihat bulan yang memesona, kedinginan membeku, kepanasan terpanggang, bersamanya, bersamanya. Selamanya.

Jika masih ada harapan untukku untuk bersamanya. Mencintainya. Menyayanginya. Memilikinya. Mengecup keningnya. Memeluk hangat tubuh mataharinya. Aku akan menggantungkan hatiku pada harapan itu. Walau serapuh permukaan danau yang membeku di awal musim dingin. Karena Kau tahu, Tuhan ? Aku mencintainya...

Saturday, February 20, 2010

Sebuah Kalung

“Hari ini aku ingin pergi ke luar desa. Kau mau menemaniku?” Gadis Es menyembulkan kepalanya dari atas rumah pohon milik ia dan teman-temannya yang terletak di sebuah pohon besar di tengah Hutan Pojo-Pojo.
“Mau kemana?” Keping Salju harus mendongak demi melihatnya, Mata mataharinya terlihat berbinar. Hangat.
“Tak tahu. Aku bosan berada di desa terus. Kita jalan saja mengikuti kaki melangkah.”
“Begitu? Tunggu sebentar, Tuan Putri.”
Tak lama Keping Salju kembali dengan menunggang seekor kuda. “Perkenalkan, ini Sefita,” katanya sambil mengelus surai kuda itu lalu melompat turun. “Ayo!” Keping Salju mengulurkan tangan pada Gadis Es.
“Berangkat!!” Seru Gadis Es setelah berhasil naik ke atas punggung Sefita.
Mereka berkuda menuju kota. Tepat sebelum mereka memasuki kota, Keping Salju menghentikan kudanya. “Tunggu sebentar.”
“Sebelum menjemputmu, aku sempat membuat ini,…” katanya seraya mengeluarkan sebuah kalung. Bandulnya terbuat dari rotan yang telah dibentuk sehingga menyerupai matahari, talinya sendiri hanya dari seutas tali putih yang diikatkan ke bandul rotan tersebut.
“…kupikir akan cocok untukmu. Sini.” Keping Salju memakaikannya di leher Gadis Es.
Gadis Es terisak pelan.
Keping Salju menyadarinya, “ya ampun, kau tak suka ya? Maaf ya, aku belum bisa memberimu yang sungguhan. Pangeranmu ini miskin sekali memang.”
Gadis Es menggeleng keras, “Kau tahu, Keping Salju? Apapun itu, seberapa pun murahnya itu, asal itu pemberianmu akan sangat berarti bagiku. Aku senang sekali. Terima kasih.”
Keping Salju menatap Pelanginya lama. “Terima kasih, Pelangi.”
“Err…tapi kenapa bentuknya matahari?”
“Kan kau yang menyebutku Matahari. Aku ingin kau selalu mengingatku. Membawaku kemana-mana. Anggap saja kalung itu aku, kalau aku sedang tak ada di dekatmu..”
Keping Salju melingkarkan tangan kanannya di leher Gadis Es, “…dan mulai sekarang kau harus memanggilku Matahari. Kau mengerti, Pelangi?”

Bersama Pangeran Matahari

Gadis Es tengah berada di padang rumput di dekat rumahnya. Bersama Keping Salju. Padang rumput itu tak begitu luas dan merupakan pintu masuk menuju Hutan Pojo-Pojo. Berupa bukit kecil sehingga dapat terlihat pemandangan seluruh desa jika berdiri di sana. Padang itu menghadap ke arah rumah-rumah penduduk desa sedangkan bagian kiri, kanan dan belakangnya dikelilingi oleh pohon-pohon. Hanya saja pohon-pohon tersebut terletak agak ke bawah dari padang tersebut. Di tengah padang terdapat pohon besar. Dan di bawahnyalah kini Keping Salju duduk menyaksikan Gadis Es yang sedang menari-nari dengan berputar di atas rumput dengan kaki telanjangnya.
“Keping Salju,” panggil Gadis Es masih tetap menari, kali ini menirukan seorang ballerina.
“Ya, Putri.”
“Aku bukan Putri. Kenapa kau memanggilku begitu?” Gadis Es berhenti menari.
“Kau tidak cocok disebut Gadis Es.”
“…..”
“Kau lebih cocok dipanggil Putri Musim Semi.” Keping Salju terdiam sejenak. “Aaahh..aku tahu. Putri Pelangi. Karena pelangi selalu muncul setelah hujan yang bertemu dengan cahaya matahari. Sama seperti kau. Sekarang kau tidak boleh sedih lagi. Mengerti maksudku?”
“Begitukah? Hmm..mungkin kau bisa memanggilku begitu. Putri Pelangi. Kedengarannya bagus.” Gadis Es mengangguk-angguk.
“Ada apa memanggilku?” Keping Salju menoleh lembut.
“Ah tidak. Aku hanya ingin bertanya, mmm…bagaimana kabar kekasihmu?”
“Dia…baik-baik saja.” Ujar Keping Salju, lebih mirip desahan sebenarnya. Ia kini berbaring menatap langit seolah tengah menikmati siraman matahari siang itu. Gadis Es mengambil duduk di sebelah kanannya. “Kapan..aku boleh tahu siapa kekasihmu?”
“Nanti kau pun akan tahu sendiri.”
“Kekasihmu pasti cantik. Kau kan, tampan. Dan ia juga pasti anggun seperti putri raja. Karena memiliki kekasih seorang Pangeran.”
“Ahahaha…sudah kubilang aku bukan pangeran!”
“Kau memanggilku Putri,” protes Gadis Es.
Keping Salju bangkit. Kini ia setengah duduk. Tangan kanannya menahan bobot tubuhnya dan tangan kirinya kini menyentuh lembut pipi kanan Gadis Es. “Bagiku, kau seperti putri. Kau Putri Pelangiku. Dan aku Pangeran Mataharimu. Mengerti?” Keping Salju menarik tangannya dari wajah Gadis Es dan kembali berbaring.
“Kau tak boleh lagi percaya pada Ksatria Air. Aku tak mau kau terus-menerus menjadi Gadis Es. Aku ingin kau bisa kembali menangis karena itu lebih baik.”
“Ng…” Gadis Es bingung harus berkata apa. “..tentang Nona Labu, sahabatmu itu, ia meninggalkanmu karena takut menganggu hubunganmu dengan kekasihmu?” Gadis Es sengaja mengalihkan pembicaraan.
“Ya.”
“Aneh. Kalau aku punya kekasih…”
“Bisa kita melupakan yang satu itu?” Potong Keping Salju setengah membentak.
“Maaf.”
Keping Salju menatap Gadis Es. “Tak apa. Maaf telah membentakmu. Sini, berbaringlah!” Katanya sambil menepuk-nepuk rumput sebelah kanannya.
Gadis Es menurut. Kini mereka berdua berbaring di atas rumput di bawah naungan pohon yang rindang, namun mereka masih dapat memandang awan yang cerah siang itu. “Aku sering seperti ini. Melihat awan. Rasanya nyaman. Aku bisa melihat apapun di awan. Sesuai imajinasiku.”
“Oh ya? Apa saja yang kau lihat?”
“Banyak. Terkadang aku melihat kedua orangtuaku, teman-temanku. Aku juga melihat biola.”
“Biola?”
“Ya. Impianku ingin menjadi pemain biola yang terkenal di seluruh dunia. Kau mau coba, Keping Salju? Mudah, kok.”
“Boleh.”
“Nah, sekarang kau tinggal melihat ke awan, dan sedikit menggunakan imajinasi, taraaa…kau bisa lihat sesuatu di sana!”
“Oke.” Keping Salju memandang awan. Lama sekali. Gadis Es menunggu. “Lama sekali, sih. Kau lihat apa?”
Aku melihat kau, Pelangi. Keping Salju menatap Gadis Es.. “Aku melihat piano.” Keping Salju berbohong dan kembali memandang awan. “Dari dulu aku ingin bisa memainkan piano. Mengadakan konser tunggal, ditonton banyak orang di seluruh dunia, mendengar mereka tepuk tangan setelah permainanku selesai. Pasti menyenangkan.” Keping Salju menoleh lagi pada Gadis Es, kali ini ia tidak berbohong.
Tapi berbeda bagi Gadis Es. Nona Lobak seorang penyanyi yang sudah terkenal di desa mereka. Keping Salju pasti ingin bermain piano untuk mengiringi Nona Lobak. Begitu pikirnya. Angin sepoi-sepoi membelai wajah mereka. “Aku ngantuk.” Gadis Es setengah menguap.
“Tidurlah.” Keping Salju menarik Gadis Es ke dadanya. Dan siang itu, Gadis Es tertidur dalam pelukan Keping Salju.

Wednesday, February 3, 2010

Bingung !!!

Dia Keping Salju.
Dia Pangeran Matahari.
Dia hangat.
Dia kokoh.
Dia mencairkan air mataku yang telah membeku
Aku bisa menjadi diriku sendiri di depannya.
Aku bisa meletakkan hatiku padanya.
Aku akan merasa aman dan nyaman bersamanya.
Aku bisa mempertahankan senyumku untukknya.
Aku bisa mengeluarkan air mata mataku karenanya.
Aku bisa merasakan cahaya bersamanya.
Aku bisa mengingat untuk tetap bermimpi tentangnya.
Aku bisa merasakan ledakan yang disebabkan kebahagiaan karena disayangi seseorang.
Aku bisa merasakan oksitosin meningkat tajam di otakku.
Aku bisa merasakan aliran darah yang deras karena malu ketika bersamanya.
Tapi...dia milik orang lain.
Apa arti diriku baginya ??

Tuesday, January 12, 2010

Gadis Es: Tentang Ksatria Air


Ketika masih dirundung kebimbangan, Ksatria Air kembali.
"Aku rindu," katanya. Gadis Es terdiam. Speechless. Tak tahu harus berbuat apa.
Tak bisa. Karena dia Ksatria Air. Tak bisa. Gadis Es tak kuasa menolak.
Ketika Ksatria Air kembali mengemis maaf padanya, berjanji akan mengubah sikap, dan segala macam untaian nada-nada manis dari bibirnya, Gadis Es goyah.
Gadis Es tahu, ini tak boleh terjadi. Ini salah.

Karena seperti halnya Pangeran Matahari, Ksatria Air juga telah memiliki kekasih. Ia Nona Irin, putri dari Panglima Sungai Bata. Walau hubungan mereka tak pernah disetujui oleh Panglima. Gadis Es tahu ia hanya dijadikan permen karet oleh Ksatria Air. Namun, ia terbuai. Terbuai oleh tatapan Ksatria Air yang begitu memikat. Ksatria Air bagi Gadis Es bagai kantung semar yang menyebarkan bau menggoda kepada serangga.

Lalu Gadis Es pergi menemui teman-temannya di Hutan Pojo-Pojo. Ia menemui Mari Si Burung Pipit, Danan Mama Singa, Noe Sang Kelinci, dan teman-teman lainnya. Tak disangka mereka semua tahu perihal kembalinya Ksatria Air. Dan tentu saja mereka tak tinggal diam.
Mari Si Burung Pipit berkata, "jangan sebut dirimu Gadis Es !!! Karna kau sama sekali tidak dingin. Kau hangat !!"

Semua menghakimi. Semua memojokkan. Gadis Es tersudut di pojokan hatinya. Yang menyakitkan, yang mereka bilang semua benar. Ksatria Air yang jahat dan Gadis Es yang bodoh. Perpaduan harmonis untuk menciptakan sebuah kesakitan pada yang bodoh.

Gadis Es menyesap manis yang diberikan Ksatria Air. Sereguk manis yang menyimpan selaksa pahit untuk menggenangi hatinya.
Ksatria Air ada di hatinya. Dan demi saat, Ksatria Air pun akan lenyap. Pasti.
Karena kali ini, Gadis Es memilih dirinya sendiri.

Bersambung...

Friday, January 1, 2010

Gadis Es: Bercermin pada Masa Lalu


"Ingat yang terjadi padamu waktu Ksatria Air datang di kehidupanmu!" Ujar Mari Si Burung Pipit. "Menyakitkan bukan?"
Gadis Es termenung. Teman-temannya, Mari Si Burung Pipit, Danan Mama Singa, Noe Sang Kelinci tak ada yang berpendapat Keping Salju harus dipertahankan olehnya. Markisa-kisa sendiri mengatakan kalau menurutnya Keping Salju hanya telah merasa nyaman padanya dan hanya menganggapnya sebagai adik.
Gadis Es dilema bukan kepalang. Antara rasio dan hatinya. Ingin rasanya membuktikan bahwa sahabat-sahabatnya itu salah. Bahwa ternyata Pangeran Matahari memang untuknya. Bahwa Pangeran Matahari bukan hanya sekedar harapan. Seketika ia teringat Ksatria Air, masa lalunya yang belum terlalu lama berlalu dari kehidupannya. Ksatria Air datang padanya dengan tatapan tajam nan indah yang mampu menusuk relung-relung hatinya yang kosong. Dan ternyata yang terjadi adalah Ksatria Air menyakitinya.Menghempasnya sampai serasa rusuk-rusuknya menohok kulitnya yang ringkih.
Ksatria Air adalah masa lalu. Dan ia menyakitkan. Gadis Es tahu itu. Ia ingin belajar dari masa lalu.
Lalu logikanya mulai berjalan, seketika ia ingat perkataan Pangeran Tepat Janji. Pangeran Tepat Janji pernah berkata padanya, "otakmu jangan diletakkan di hati!! Karena tak selamanya kasih sayang itu dengan kelembutan." Kata-kata itu seolah meresap ke setiap inci tubuh Gadis Es dan menjalar sampai ke bagian yang terdalam.
Gadis Es berpikir,' Pangeran Matahari pasti hanya menganggapku teman yang bisa membuatnya nyaman. Sahabat seperti layaknya ia dengan Nona Labu. Mungkin ia jenuh dengan suasana istana yang disuguhkan oleh Nona Lobak. Aku tak boleh berharap. Tak boleh kalau tak mau hatiku makin mengeras.'

Bersambung...