Ia kini berdiri di pinggir jurang yang menatap ke samudra lepas. Di bawahnya sang laut menampar-nampar karang dengan ganas, siap menjemput ajal siapa saja yang berani datang padanya. Satu langkah lagi, satu langkah lagi yang bagi orang biasa bisa lunas nyawanya jika dilakukan. Namun ia tetap bergeming di situ. Bibirnya tertarik ke belakang membentuk lengkungan sempurna. Manis sekaligus misterius.
Sedang aku hanya bisa melihatnya. Tak berbuat apa-apa. Bukan tak mau, tapi tak bisa. Aku masih menatapnya. Kini ia terlihat gelisah. Ujung kaki kanannya diadu ke tanah berulang-ulang kali. Entah, mungkin ia mulai ragu akan keputusannya. Sesekali ia menyingkap rambutnya yang dipermainkan oleh angin laut. Ia usap lengannya demi mendapat kehangatan dari gaya gesek yang ia ciptakan di atas kulitnya. Aku sendiri sudah menggigil dari tadi. Namun aku tak ingin melewatkan ini dan pulang ke rumah, lalu beraduan dengan selimut hangat, lantas terlelap. Tidak, aku ingin menjadi saksi ritual ini. Ritual yang tak menentu kapan terjadinya.
Ia mundur tiga depa. Telapak tangannya mengepal kuat-kuat. Oohh…tidak jadikah? Ia mundur lagi beberapa depa, dekat sekali denganku, sampai-sampai aku bisa mendengar napasnya yang teratur. Lalu tanpa peringatan ia berlari lagi ke depan. Begitu kencangnya sampai aku baru menyadari ketika ia sudah tak lagi di depanku. Ia menuju jurang. Dan pemandangan berikutnya sungguh menakjubkan.
Ketika kakinya tak lagi menjejak tanah, ia lantas merentangkan kedua tangannya seperti sayap. Lalu dengan satu gerakan tangkas lagi anggun, ia menukik. Tinggi karang yang menjulang dimanfaatkannya untuk sedikit bermanuver sebelum ia benar-benar menyentuh laut. Berputar-putar layaknya ballerina di ruang kaca dan tertawa-tawa persis seperti Peter Pan saat menggoda Kapten Hook yang tak bisa terbang. Ia terjun seterjun-terjunnya. Kemudian….BLAAASSS !!! Ia akhirnya menghempas ombak.
“Kau gila!” Seseorang memergokku tengah menonton adegan anggun nan mengerikan tadi. Tangannya menyergap lenganku. “Apa yang kau lakukan? Seharusnya kau mencegahnya. Bukannya hanya menonton saja. Ia akan mati!”
Ah..Kawan, kau tidak mengerti. Aku tersenyum selembut mungkin menatapnya sembari menanggalkan tangannya yang masih mengunci lenganku. “Biarkan saja,” kataku tenang. “Nanti juga ia akan kembali.”
Aku melongok ke jurang. Ia tak muncul lagi. Aku tahu ia sedang asyik menyelam di bawah sana. Memunguti serpih demi serpih pengalaman yang akan diberikan padaku nantinya. Saat kembali lagi, aku tahu ia akan lebih anggun dari sebelumnya.
Aku melangkah menjauhi jurang sampai orang itu tak tahan untuk tidak bertanya. “Siapa…dia sebenarnya?”
Aku berbalik. “Jenuh. Namanya…Jenuh.”
No comments:
Post a Comment