Kau pernah menonton Milk yang dibintangi Sean Penn dan James Franco? Atau Shelter mungkin? Oh terserah, yang jelas mimpi buruk itu berawal dari kedua film tadi.
Namanya Bio. Ia adik kelasku di masa putih abu-abu. Aku memanggilnya Paman karena kakaknya yang juga kakak kelasku, kupanggil Ayah. Bagiku Bio adalah segalanya. Ia paman, adik, sekligus sahabat yang dengan sifat introvertnya pasrah saja mendengar segala ceritaku. Kedudukannya bahkan lebih tinggi dari seorang kekasih.
Dan film tadi, kudapat darinya. Terjijik-jijik aku menonton adegan sesama pria yang sedang melakukan hubungan intim. Tapi yang ia bilang justru, "romantis ya, Vi?"
"Apa maksudmu?"
"Menurutmu?"
Aku menggeleng. Tak berani mengambil sebuah kesimpulan apa pun. "It's obviuos, Livia. Tidakkah kau menyadarinya selama ini? I'm the one of them."
Seketika itu juga, duniaku terhenti.Ya Tuhan, Beruang Kecilku, Pamanku yang baik hati, adikku yang manis. Ia penyuka sesama jenis.
Beberapa kubik air mulai berebut keluar dari pelupuk mataku.
"Maaf Livia, kalau semua ini membuatmu kecewa. Seharusnya Bio tidak memberitahu yang sebenarnya kan, agar hubungan kita baik-baik saja. Tapi Bio tak kuat lagi memendam ini semua. Siapa sih, yang mau kehidupan seperti ini? Kalau boleh memilih, Bio juga ingin jatuh cinta pada seorang perempuan. Tapi Tuhan berkehendak lain. Ini kenyataannya, Livi. Bio berbeda."
Tiga tahun. Ya, tiga tahun lebih ia menyembunyikan itu semua dariku. Tak bisa kubayangkan ia menderita sendirian dengan segala penolakan yang tak hanya dari norma-norma yang ada tapi juga dari dirinya sendiri. Gagal, itu yang kurasakan sebagai orang terdekatnya.
Aku memang sempat curiga ketika ia mulai dekat dengan seorang temanku yang juga gay. Namun waktu itu, kututup mata, telinga dan seluruh hatiku karena tak mau ketakutanku bahwa Bio memang tidak hetero berubah menjadi kenyataan.
Yang aku tak mengerti. Kalau memang ini takdir, mengapa Tuhan menciptakan sesuatu yang jelas-jelas Ia laknat? Dan mengapa Bio? Mengapa Bioku? Demi Tuhan...ia hanya seorang anak kecil! Ini semua tak hanya menguji keimanannya, tapi juga imanku.
"Kau...baik-baik saja, Paman?"
Ia tersenyum. "Kau seolah-olah bertanya untuk dirimu sendiri. Aku baik-baik saja, Livia."
"Apa yang bisa kulakukan untukmu?"
Ia usap lembut kepalaku. "Kehadiranmu. Itu saja sudah lebih dari cukup, Livia. Kau segalanya bagiku."
Tak hanya dia, perasaanku sendiri juga merajam. Aku memang masih memandangnya dari koridor agama yang jelas-jelas sudah ketuk palu bahwa ini suatu kesalahan. Suatu penyimpangan. Tapi aku bisa apa? Yang bisa kulakukan hanya terus berada di sampingnya sembari tak hentinya berdoa agar ia menjadi seperti yang seharusnya. Agar jiwanya kembali patuh pada hukum alam.
"Bersiaplah, dunia akan keras padamu."
"Einstein bilang 'I shall never believe that God plays dice with the world'. Jadi aku pasti baik-baik saja, Livia. Tak usah khawatir."
Kau Adik Manis...
Andai aku diizinkan mencintaimu
Aku ikhlas jika harus patah hati
Karena kau lebih memilih perempuan lain
Daripada harus menerima kenyaatan ini
Kau, Paman kecil yang baik hati
Jika pun ada pria yang mencintaiku
Seperti aku mencintainya
Itu saja tak lantas membuatku bahagia
Lantaran aku masih mengingat
Bahwa kau masih meraba-raba kebenaran di luar sana
Kau, Beruang kecilku
Ingin sekali kukatakan padamu
Ini bukan takdir, sayang...ini cobaan
Pamanku…pamanku…
Kembalilah pada jiwamu
No comments:
Post a Comment