Kebetulan selagi gw berkutat dengan atmosfir UAS yang menggila desember taun lalu yang bikin gila otak, gila ati, en gila kantong of kors, gw dapet tugas feature suru bikin feature *mubajir ni kata2* tentang sepeda. Berhubung gw udah ga punya waktu lagi buat liputan, jadi gw memutuskan nulis ini aja buat gw kasiin ke dosennya. *sori banget buat bang gilang! ihiks*
But, i tried to do my best dengan bahan yang amat secuil mentil ini. Aiiihh...nih gw posting sini aja dah, ya.
Kejadiannya sudah lama. Hampir setahun yang lalu. Aku pun telah lama pula hanya menyimpan kisahnya dalam kartu memori otakku yang ukurannya bukan lagi kilobyte, megabyte atau gigabyte, melainkan mencapai byte tak hingga yang belum dapat ditembus kalkulasi manusia. “Setan” berlabel malas itulah yang menjadi penyebabnya. Tapi sekarang, momen yang tak lebih dari 20 menit itu akan kuungkap untukmu, Kawan.
Pagi itu, sekitar pukul 10 pagi, bukan pagi yang istimewa sebenarnya. Pagi yang masih sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Hanya mega yang mungkin tak terlalu antusias kala itu. Langit abu-abunya bergayut enggan di atas kepalaku. Semuanya masih seperti biasanya. Pemandangan kesibukan Margonda di pagi hari, ruko-ruko yang masih sama, angkot-angkot yang lalu lalang.
Aku sudah di dalam angkot 19 jurusan Depok-Kampung Rambutan menuju kampusku saat melihatnya pertama kali di depan Depok Town Square. Ia tepat di samping kanan angkot yang kutumpangi. Mengayuh sepedanya. Seorang laki-laki dengan perawakan sedang. Umurnya kutaksir kurang dari 40 tahun. Sebuah topi merah bertengger mantap mencaplok kepalanya.
Awalnya kupikir tak ada yang istimewa pada dirinya, sama saja dengan pengguna jalan lain. Namun, kulihat ada yang berbeda dari caranya mengayuh sepeda. Bagian kakinya yang sedang mengayuh tak terlihat olehku karena posisinya yang berada di kanan angkot. Aku jadi tak tahu apa yang membuatnya bergerak aneh saat mengayuh. Tak lama ia kemudian mempercepat kayuhannya menyalip angkot yang kutumpangi sehingga kini seluruh badan serta sepedanya terlihat jelas olehku. Praktis aku langsung mendapat jawaban dari pertanyaanku barusan. Aku tahu yang membuatnya berbeda.
Ia bersepeda dengan satu kaki, Kawan! Tepatnya, dengan kaki kirinya. Bahkan tangan kanannya yang memegang stang pula memegang sebuah krek-alat bantu berjalan. Entah bagaimana caranya ia melakukan itu. Entah pula dengan namanya. Aku yang tak sempat mencari tahu hanya bisa menyebutnya sebagai Tuan Topi Merah.
Tuan Topi Merah sempat menghilang dari pandanganku. Mungkin sudah jauh tertinggal mengingat caranya bersepeda. Aku mendakwa. Namun, saat melintas di depan Kober, alih-alih di belakangku, justru ia sedang melenggang manis di depan angkot tumpanganku. Kedua alisku bertaut membentuk kerut, “bagaimana bisa?”
Kubiarkan pertanyaanku menggantung sambil berusaha menikmati sang angkot membawaku jauh meninggalkannya lagi di belakang. Tahu-tahu aku sudah di halte UI-Universitas Indonesia begitu pula dengan Sang Topi Merah. Selain alis, kini pikiranku juga ikut berkerut, “bagaimana bisa ia secepat itu?”
Hal itu terus-menerus terjadi sampai akhirnya ia membelok di pertigaan Lenteng. Hilang selamanya dari visiku. Aku jadi teringat dengan sebuah dongeng nusantara terkenal yang menceritakan perlombaan lari Si Kancil melawan Si Siput. Adu cepatku dengan Tuan Topi Merah mungkin persis seperti itu. Aku menjadi Si Kancil yang pongah, dan Tuan Topi Merah seperti Si Siput yang diremehkan.
Entah bagaimana dengan kalian, yang jelas aku yang heran berubah kagum pada Tuan Topi Merah. Di saat penyandang satu kaki yang lain seakan pasrah dengan keadaanya, Tuan Topi Merah tak mau bersikap manja. Ia masih mengayuh sepedanya dengan satu kakinya yang tersisa. Tak seperti aku yang masih memiliki sepasang kaki lengkap yang terkadang masih merengek, merajuk, minta diantarkan ke suatu tempat.
Sayang, aku tak sempat bisa berbincang dengannya. Dengan bodoh, aku hanya melongo, mangap sambil bertanya-tanya di dalam angkot merah tanpa punya kuasa turun dari angkot dan menghentikannya. Aku hanya berharap dapat bertemu lagi nanti dengan Tuan Topi Merah dan sepedanya.
No comments:
Post a Comment