Sunday, February 20, 2011

Seharusnya aku.....

Seharusnya aku membencimu, kan?

Karena, berkatmulah aku harus menelan bulat-bulat tatapan kebencian mereka. Pun karenamu aku harus rela dibekap kicauan satir dari para kawan. Ditampar hati. Dibuang jiwa. Dijauhi raga. Oleh mereka.

Merejang sendirian di tempat tandus yang katanya sarang tercinta, namun justru membuat hatiku mampus meregang rasa.

Padahal kita, kau dan aku, yang menanam. Tapi mengapa hanya aku yang menuai? Tak adilkah? Bagimu atau bagiku? Kurasa tak ada bedanya.

Seharusnya aku melupakanmu, kan?

Kau yang bahagia di sana. Tanpaku yang menjadi ragi dalam komposisi senyummu yang mengembang. Meninggalkanku sendirian dengan dakwaan dunia yang menuding padaku sebagai satu-satunya tersangka.

Lihat kawanmu itu! Bilang pada mereka usah repot membenciku!

Kau lihat temanku! Lihat! Apa mereka membencimu?

Oh, tentu tidak. Kau pangeran tampan nan baik hati mana mungkin dibenci.
Kau sang putra mahkota tentu hanya tahu rasanya dicintai. Tak mengerti konsep orang apkiran. Tak mafhum bagaimana rasanya terbuang.

Ya. Ya. Hanya aku yang berdosa. Hanya aku yang patut dilaknat seantero jagat.

Iya. Seharusnya aku membencimu, kan?

Nyatanya tak bisa. Saat aku seharusnya membencimu, ia datang lagi. Itu...itu pahlawanmu. Panglima yang melindungimu dari kebencianku. Hulubalang yang akan membunuh segala ambivalensi perasaanku terhadapmu. Punggawa yang siaga menghalau semua galau hatiku.

Itu pahlawanmu. Bertandang sekedar untuk mengingatkan, “hei, Nona. Kau mencintainya kan?”
Aku mengesiap. Dan kau tahu? Pahlawanmu menang.
Kebencianku amblas. Beresidu menjadi ampas. Dan ke dalam dasar terhempas.

Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, dengan ini maka kuserahkan seluruh hati pada-Mu, wahai Sang Pemilik Hati.

No comments:

Post a Comment